Selamat Ulang Tahun

739 100 9
                                    

Sakura membuka pintu apartemen. Begitu masuk, ia melempar sepatu dengan asal ke atas rak. Langkahnya gontai menuju kamar. Saat berhadapan dengan ranjang, tubuhnya langsung ambruk.

Gadis itu menghela napas berat, berkali-kali. Berharap bersamaan dengan hembusan napas yang keluar, rasa sakitnya dapat menghilang. Sakura membenamkan wajah di bantal, berusaha meredam suara teriakan yang detik berikutnya berganti menjadi isak tangis.

"Kenapa, kenapa kau melakukan itu, Sasuke—"

Mata onyx lelaki itu muncul dalam benak Sakura. Bagaimana bisa mata itu menatapnya dengan begitu kejam? Ia tahu, sejak awal mata itu memang gelap. Namun kini tampaknya sudah menjadi terlalu gelap untuk diselamatkan.

Apa harapan itu benar-benar telah hilang?

Teringat akan sorot mata Sasuke saat hendak menikamnya, membuat tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia memukul kasur dengan keras, meluapkan rasa marah dan frustasi yang datang bersamaan.

Lelaki itu telah merebut hati Sakura jauh sebelum mereka saling mengenal. Ia jatuh hati pada parasnya yang rupawan, seperti kebanyakan gadis lain. Namun perasaan Sakura terus tumbuh dan berkembang pada Sasuke, bahkan setelah mengetahui segala sisi gelap lelaki itu. Ia mencintai segala kelebihan dan kekurangannya, lebih baik dari yang dilakukan Sasuke.

Sejak awal Sakura tahu, bahwa Sasuke memang tidak pernah tertarik dengan segala sesuatu tentang perasaannya. Dia terlalu sibuk dengan ambisi balas dendam, seolah-olah itulah tujuannya untuk terus hidup dan menjadi kuat. Entah balas dendam kepada siapa dan seperti apa, Sakura tak mengetahuinya, meski sangat ingin.

Hidup Sasuke menyedihkan. Klannya dibantai, termasuk keluarganya. Dia tumbuh dengan rasa kebencian yang begitu kuat. Dia hidup dengan menanggung beban dan rasa sedih yang teramat dalam. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan Sakura.

Mungkin karena itulah, Sasuke selalu menolaknya. Sakura berasal dari keluarga baik-baik, tanpa klan, tanpa masalah, tanpa konflik. Ia tumbuh dengan penuh cinta dari orang-orang disekitarnya. Jauh berbeda dengan Sasuke.

Tiba-tiba Sakura merasa malu akan dirinya. Sasuke pasti berpikir ia hanyalah gadis bodoh yang selalu berkhayal tentang kehidupan romantis bersamanya. Gadis yang tidak tahu apa-apa tentang kehilangan dan rasa sakit.

"Jadi begini, rasanya, Sasuke—"

**

Sudah seminggu berlalu sejak Tim 7 selesai menjalankan misi. Sejak saat itu, Tsunade belum memanggil Naruto untuk memberi misi baru. Hal itu tentu saja membuatnya kesal.

Naruto bangkit dari tempat tidur. Saat kakinya turun, hal pertama yang di sentuhnya adalah bungkus makanan ringan yang sudah berhari-hari lalu di makannya. Ia mengerjap, memperhatikan ruangan kamar tidurnya.

Sungguh berantakan!

Tanpa memperdulikan keadaan rumahnya yang kacau, Naruto berjalan malas menuju dapur. Ia membuka satu persatu deretan lemari, kemudian beralih ke kulkas kecil di sudut ruangan. Tidak satupun dari mereka menyimpan sesuatu yang bisa dimakan.

Naruto mengeluh. Hari ini hari minggu, terlalu pagi jika ia keluar rumah sekarang. Tapi rasa laparnya tidak bisa di ajak berkompromi.

Sial!

Pemuda itu terkesiap saat mendengar pintu rumahnya di ketuk. Siapa yang bertamu ke rumahnya sepagi ini? Dengan langkah malas, ia berjalan menuju pintu depan. Sakura menghambur masuk saat pintu dibuka.

"Sakura-chan?"

"Kau tampak berantakan, Naruto."

Gadis itu menerawang ruang depan yang sekaligus terhubung dengan dapur. Kepalanya menggeleng, prihatin.

The Sun And MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang