Pantaskah?

595 75 19
                                    

Naruto keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk melilit di pinggangnya. Ia membuka lemari, menyisir tumpukan baju yang entah kenapa masih saja terlihat berantakan. Padahal Sakura sudah membantu merapikannya hari minggu kemarin.

​Ia memilih mengenaka pakaian santai, kaos putih dengan celana pendek hitam di bawah lutut sedikit. Naruto menyugar rambut, sambil menatap diri di depan cermin. Tampilannya selalu terlihat santai dan biasa. Yah, karena memang ia tidak begitu peduli dengan pakaian yang dikenakannya. Mau itu terlihat kusut atau ada bolongan besar di punggung, ia akan tetap memakainya, sampai Sakura menegur dan memperbaiki kerusakan itu untuknya.

​Naruto tersenyum geli. Setiap kali ia melakukan hal-hal ceroboh dan bodoh, Sakura adalah orang pertama yang selalu datang padanya. Dia tidak ragu untuk memarahi atau bahkan memukulinya. Orang-orang melihat itu sebagai perlakuan yang kasar, tapi bagi Naruto, itu adalah bentuk kasih sayang. Sakura memang terlihat pemarah dan kasar, tapi itu adalah bentuk perwujudan rasa pedulinya pada orang lain.

​Selama berkelana, Naruto tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan gadis itu. Ia sibuk dengan latihannya bersama Jiraiya. Siapapun yang mengenal Naruto pasti tahu, jika sudah menyangkut latihan, ia akan menjadi orang yang berbeda. Ia bekerja keras untuk bisa menguasai jutsu yang diajarkan padanya.

​Naruto ingin menjadi lebih kuat. Untuk melindungi desa dan orang-orang di dalamnya. Ia harus kuat untuk bisa membawa Sasuke kembali, sebagaimana janjinya pada Sakura tiga tahun yang lalu. Naruto berjanji akan membawa pemuda uchiha itu pulang, kembali bersama mereka.

​Ia menghela napas. Janji itu belum bisa ditepatinya. Tanpa orang-orang tahu, sebenarnya Naruto selalu merasa malu dan bersalah, setiap kali bertemu dengan gadis bersurai merah muda itu. Ia merasa dirinya belum pantas untuk berdiri disisinya, sebelum janji itu tuntas.

​Hari sudah sore, saat Naruto keluar rumah. Ia berjalan santai, arahnya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Ino dan Choji.

​"Oh, Naruto! Kau mau pergi kemana?" Ino menyapanya dengan riang. Sementara Choji tampak sibuk mengunyah keripik kentangnya.

​"Yo, Ino, Choji! Aku mau menemui Sakura-chan di rumah sakit, ttebayo." Ia tertawa kecil, tahu Ino menatapnya dengan jahil.

​"Hah, aku iri sekali dengan si jidat itu! Kau sungguh bekerja sangat keras untuk merebut hatinya." Ino menyikutnya. "Kau sudah memberikan hadiah itu padanya?"

​"Eh?" Naruto terkesiap. Dari mana Ino bisa tahu tentang itu?

​Ino tertawa kecil, mendekatkan wajah ke samping telinga Naruto. "Ada tonjolan petak di sakumu, dan kau semalaman penuh memegangi itu seperti akan ada yang mau mencurinya saja. Dengan gelagat seperti itu siapapun bisa mengetahuinya, dasar Naruto bodoh!"

​"BENARKAH?!" Naruto memegangi kepala, terlihat salah tingkah. Bodoh sekali, bagaimana bisa ia tidak menyadari hal itu!

​Ino dan Choji tertawa geli melihat reaksi Naruto.

​"Aku mendukungmu, Naruto. Semoga beruntung!" Ino dan Choji melambai, meninggalkan Naruto yang masih krasak-krusuk sendiri.

​Pantas saja Shikamaru terlihat tidak peduli kemarin, rupanya dia juga sudah tahu. Naruto menghela napas. Semoga saja Sakura masih belum mengetahui kejutan yang akan diberikannya sebentar lagi.

Ia kembali melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit.

​"Permisi, apa Sakura-chan masih bertugas?" Naruto muncul di depan meja resepsionis rumah sakit.

​Perawat yang duduk disana menggeleng sopan. "Dia sudah pulang sejak setengah jam yang lalu." Jelasnya.

"Ah, begitu ya. Baiklah terimakasih."

​Naruto memutuskan untuk menghampiri Sakura di apartemennya. Ia berjalan riang, tidak sabar melihat mata emerald gadis itu membulat besar melihat hadiah yang akan diberikannya. Ia terkikik pelan. Pasti lucu sekali.

​Namun ternyata apartemen itu kosong. Ia sama sekali tidak merasakan cakra Sakura di dalam sana. Ia menggaruk kepala, bingung harus mencari kemana lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan saja, tetap berniat mencari gadis itu, meski harus mengelilingi desa.

​Naruto bersiul-siul, tangannya tidak pernah lepas dari saku kanan celana pendeknya. Perasaannya sangat amat bahagia. Ini kali pertama, ia membeli sesuatu yang cukup mahal untuk diberikan kepada orang lain, untuk rekan satu tim, gadis pujaan, sekaligus cinta pertamanya, Sakura.

Belum bertemu Sakura saja sudah membuatnya berdebar-debar begini, bagaimana saat mereka  bertemu nanti? Naruto menggoyang-goyangkan pundaknya kegirangan.

​Tak berapa lama, langkah Naruto terhenti, ia mengerjap beberapa kali. Matanya tidak salah lihat, dua orang yang berada di balik kaca kedai steak disebelahnya adalah dua orang yang paling di kenalnya, Sakura dan Kakashi-sensei.

​Apa yang mereka lakukan berdua saja tanpa dirinya?

​Dari jauh Naruto bisa melihat dengan jelas, mata Kakashi menyipit, dia sedang tertawa. Sementara gadis yang duduk di depannya, Sakura, terlihat sedang membicarakan sesuatu dengan mulut penuh, pipinya menggelembung.

​Naruto yang hanya mengamati dari kejauhan saja tidak bisa menahan senyumnya melihat Sakura yang begitu, apalagi Kakashi yang duduk tepat di depan gadis itu. Ia hendak mendorong gagang pintu, tapi sekilas Naruto melihat bayangannya di jendela kaca. Gerakannya langsung terhenti. Ia mendengar seseorang berdehem di belakang, ternyata Naruto menghalangi pintu masuk, ia segera menepi.

Naruto bisa merasakan dua pasang mata yang baru saja menghilang di balik pintu menatapnya asing.
​Ia menggaruk kepala, tertawa hambar. Pantas saja, ternyata penampilannya saat ini tidak cocok dengan nuansa tempat itu. Orang-orang di dalam sana terlihat rapi dan bergaya. Sementara ia hanya menggunakan baju kaos lusuh dan celana pendek.

​Sebelumnya Naruto tidak pernah memikirkan hal semacam ini. Ia terkesan tidak peduli dengan penampilannya, dengan bagaimana orang lain melihat dan membicarakannya di belakang. Naruto selalu percaya diri, dengan kekuatannya, dengan kemampuannya, dengan prinsipnya, dengan mimpinya.

​Tapi detik itu, Naruto tersadar, bahwa ternyata dunia tidak hanya tentang kekuatan. Ternyata kehidupannya selama ini hanya berputar-putar di tempat yang sama. Berlatih dan mengerjakan misi. Ia tidak pernah memikirkan hal-hal seperti jalan-jalan, pergi berwisata, makan-makanan mewah. Kehidupan seperti itu terasa sangat tidak cocok baginya.

​Tiba-tiba Naruto merasa amat kecil, ia kehilangan kepercayaan diri. Ini tidak seperti dirinya. Wajah Naruto menjadi muram, padahal beberapa detik yang lalu bibirnya bahkan tidak bisa berhenti tersenyum memikirkan pertemuannya dengan Sakura. Kakinya perlahan bergerak mundur, berbalik dan meninggalkan kedai mewah itu. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, berusaha terlihat biasa saja.

​"Aku akan memberikannya nanti—" gumamnya lirih.

​ Naruto berjalan pulang ke rumahnya, dengan langkah gontai. Tadi ia berencana ingin sekalian mengajak Sakura makan malam, sebelum memberikan hadiah, tapi rencana itu batal. Sakura saat ini sedang bersama Kakashi, di sebuah tempat makan mewah. Entah dalam rangka apa, berdua saja, tanpa dirinya.

​Kini perutnya keroncongan. Naruto membuka kulkas, menatap kotak-kotak berisi lauk buatan Sakura. Ia tersenyum tipis. Meski tidak bisa makan bersama, tapi makanan ini masih ada hubungannya dengan Sakura. Itu cukup. Ia tidak akan merasa begitu kesepian saat tahu makanan yang masuk ke mulutnya adalah makanan rumahan yang dibuatkan orang lain untuknya. Khusus untuknya.

Selama makan, pikirannya terus melayang. Bayangan Sakura dan Kakashi yang sedang makan malam berdua di kedai steak mewah sedikit mengganggu pikirannya. Mereka tampak cocok berada di tempat seperti itu. Terlebih Sakura. Sepertinya gadis itu hidup dalam lingkungan yang serba berkecukupan. Sejak dulu tampilannya selalu bergaya. Tidak seperti dirinya.

Naruto kembali menghela napas panjang.

Pantaskah ia bersanding di sebelah Sakura?

The Sun And MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang