12 • TANTANGAN

550 59 0
                                    

• 12 •
Bagaimana jika, aku benar-benar berhasil? Karena itu, jangan meremehkanku.

•••

"Nia, Ibu tahu kamu kondisi kamu sedang tidak stabil. Tapi, ibu mohon kamu tidak mengulangi hal seperti itu lagi. Kamu bisa keluar, dan kumpulkan hukumanmu besok pagi."

"Baik, Bu!" Nia tidak tahu bahwa tindakan tanpa izin alias tidak senonoh itu, membuat gempar satu sekolah.

Benar saja, ia dan Atlantis langsung dipanggil menghadap guru BK yang sudah menanti mereka berdua.

Ia bangkit dari sofa empuk ruangan full AC itu, melihat ke arah Atlantis yang terlihat kesal.

"Melihat dari reaksinya, sepertinya Atlantis bukan ayah dari anak yang di kandung oleh Oceania."

Tapi, dengan begitu. Nia berhasil memastikan hal tersebut.

"Atlantis," panggil Nia, ada suatu hal yang lupa ia sampaikan.

Pria itu bergeming, duduk di tempatnya dalam diam. Bu Wardah mengalihkan perhatiannya pada Nia, menatap gadis muda itu prihatin.

"Ich liebe dich, Altantis."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Nia langsung bergegas keluar dari ruangan. Sebelum, Atlantis makin marah besar.

Tidak lama seusai kepergian Nia, Atlantis dan Bu Wardah terlihat serius. Seolah, ada percakapan panjang yang akan mereka bicarakan.

"Kamu tahu apa yang diucapkan Nia barusan, kan?"

"Iya, Bu," akui Atlantis.

"Kalian berdua pacaran? Bukannya Fely tunangan kamu? Kalian sudah putus?"

Atlantis melongo sebentar, belum siap dicerca banyak pertanyaan dalam satu waktu bersamaan.

Atlantis menggeleng, tidak membenarkan semua pertanyaan Bu Wardah.

"Oh, baiklah. Kamu mungkin sudah mengetahui kondisi Nia, dan pihak sekolah juga tidak bisa menindak tegas atau memberi hukuman berlebihan, karena yang utama saat ini adalah kesembuhan dia kembali."

"Iya, Bu."

"Citra sekolah kita menjadi tidak baik, saat berita gadis jatuh dari atap tersebar luas. Pihak sekolah juga menyayangkan hal tersebut. Ibu harap kamu mengerti, Atlantis. Saat ini, kami juga sedang mengusahakan dan membantu pemulihan Nia, dengan memberi perawatan juga di sekolah."

Atlantid menyiap baik-baik penjelasan Bu Wardah, ada banyak hal yang ingin ia intrupsi. Tapi, pria berlesung pipi kecil itu, mengurungkan niatnya.

"Ibu mau, kamu juga bisa membantu dan turut serta dalam kesembuhan Nia. Karena, dia mungkin butuh orang seperti kamu, Atlantis. Lagi pula, sejauh ini .... Ibu melihat, satu-satunya teman Nia, itu kamu!"

"Tapi, Bu ... saya dan Nia tidak berteman ---"

•••

"Bagaimana bisa, aku menulis permintaan maaf dan perjanjian untuk tidak mengulangi hal tersebut lagi, sebenyak 100 kali. Hikss, apa aku bisa?!" gerutu Nia, meski senang dapat menciun Atlantis. Tapi, sekarang ... ia lebih menyesal.

Memang benar, penyesalan itu selalu di belakang.

Byurrr ~

Dalam hitungan detik, tubuh Nia tiba-tiba basah. Sebuah ember yang tergantung di atas pintu menumpahkan seluruh isinya yang berbau tidak sedap.

"Iwhh, bau sampah," ledek beberapa orang.

Sementara, Fely duduk di atas meja, terlihat gembira sambil melipat tangan di dada. Menunjukan bahwa ialah penguasa ruang kelas saat ini.

"Lo pasti beneran mau mati? Ngapain lo nyium Atlantis, dasar gatel!" Fely angkat bicara, suaranya terdengar lantang.

Nia menggeleng, ia tidak bisa bilang bahwa ia melakukan itu untuk memastikan suatu hal. Mari juga sudah memperingatkannya, untuk tidak membocorkan isi buku tersebut pada siapa pun.

"Karena aku suka Atlantis."

"Ha ha ha," tawa Fely terdengar menghina. "Cupu, lo harusnya sadar diri, sadar dengan posisi lo! Seperti sekarang ini, lo itu menjijikan, dasar sampah!"

Benar, apa yang dikatakan Fely sepenuhnya benar. Tubuh Nia seketika berbau tidak sedap, seperti bau bangkai-bangkai ikan yang membusuk di lautan.

"Lagi pula, karena siapa aku begini? Pasti ulah lo, kan? Dasar blobfish!"

"Kamu terlalu jahat untuk Atlantis, kalian tidak cocok!" Nia berkata apa adanya, pria itu memang sering marah dan bertindak dingin padanya.

Setidaknya katakter Atlantis jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Fely. Mereka seperti pasir di dasar laut dalam dan gelombang di permukaan, jauh sekali!

Sudut bibir Fely terangkat, tersenyum sinis.

"Menarik, kalau begitu cobalah. Rebut Atlantis dari gue, kalau lo bisa." Sebuah tantangan terucap dari mulut Fely.

•••

Setelah mandi selama berjam-jam lamanya untuk menghilangkan bau tidak sedap itu, Nia duduk di ujung tempat tidurnya.

Gadis dengan handuk yang melilit di kepalanya, meraih ponsel lalu mulai menjelajah internet untuk mencari tahu banyak hal.

"Apa aku racuni saja, dia? Haruskah aku benar-benar membunuhnya?"

Kepala Nia menggeleng, membuang jauh-jauh bisikan jahat tersebut.

Suara ketukan pintu terdengar, Nia mempersilahkan satu-satunya orang tinggal di rumah ini bersamanya.

"Iya, Kak?"

"Ada masalah, Nia? Pa Ifan sudah ngasih tahu aku semuanya."

Nia lupa satu hal, yaitu menutup mulut supir yang selalu mengantar-jemputnya ke mana pun.

"Ada yang jahatin kamu lagi di sekolah?" tanya Sean, meraih punggung tangan sang adik.

Sejujurnya, ia meras bersalah karena beberapa kali menutup mata atas hal yang menimpa sang adik. Awalnya, ia menduga bahwa sang Nia-lah yang tidak pandai bersosialiasi dan menjadi alasan semua itu. Ia pikir, cepat atau lambat Nia akan beradaptasi.

Tapi, setelah kejadian mengerikan itu menimpa sang adik. Sean tidak akan menutup mata lagi, ia tidak bisa kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki.

Dengan cepat Nia menggeleng.

"Kalau kamu tidak betah di sana, kita cari sekolah lain. Kalau perlu, Kakak juga bisa resign dari kantor dan kita pindah ke kota lain.

Mendengar hal itu! Nia merasa ada badai kencang yang harus ia hindari.

Nia ingin sekali meninggalkan sekolah yang memuakkan tersebut. Tapi, itu artinya ... ia harus siap berpisah dengan Atlantis.

"Nggak Kak, aku betah kok sekolah di sana!" Nia tersenyum lebar, menunjukan seluruh energi yang tersimpan di tubuhnya.

"Lalu bisa jelaskan apa yang terjadi hari ini?"

"Aku jatuh ke cairan di selokan itu, apa ya, namanya? Bentar ya, aku coba ingat." Nia meminjat kening, melancarkan ingatannya yang tersumbat. "Oh, iyaaaa, got! Aku jatuh ke situ, Kak."

"Kok bisa?" tanya Sean hampir tidak percaya.

"Memangnya kalau jatuh di got, aku harus butuh alasan, Kak? " tidak mau kalah, Nia balik bertanya.

"Benar juga. Kalau begitu, lain kali kamu harus lebih berhati-hati." Seusai mengucapkan kalimat tersebut, Sean beranjak meninggalkan kamar sang adik.

Menyisakan Nia seorang diri di dalam sana, penuh rencana. Selain itu, Nia harus lebih berhati-hati untuk tidak membuat Sean khawatir.

Jika, itu terjadi lagi. Kemungkinan besar, ia akan dipindahkan sekolah.

Tidak boleh! Apapun yang terjadi dirinya tidak boleh kalah.

•••

Putri Duyung Mencari Atlantis (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang