19. Diuntit

119 9 1
                                    

Resa baru bisa bebas dari si gila Arga, itu juga bertepatan jam pulang Raza. Seketika berdecih, dan tak segan menendang Arga yang masih saja asik tiduran, padahal tadi mendapat informasi dari asisten akan ada rapat dadakan.

"Kok kasar sih!" Arga sebal, habisnya Resa tidak ada lembut-lembutnya.

"Berisik! Pergi sono!"

Arga berdecak, akhirnya bersiap diri untuk ke tempat rapat.

"Apa lagi sih?" Resa pusing, terus dihambat-hambat.

"Cium dulu." Arga dengan muka mesumnya meminta.

Sayangnya, mendapat tamparan keras. "Ogah!" Setelahnya, Resa berhasil kabur.

"Ah elah!" Arga sebal, Resa tidak bisa diajak kompromi. "Ah iya, memang udah tinggal bersama. Soal status, di sini bertentangan. Yang legal pastinya di luar ...."

Resa baru saja turun dari kendaraan umum yang dinaikinya, sesekali membenarkan tudung dari jaket yang dipakainya.

"Mama lama!" Raza ngambek, tetapi senang tetap dijemput. Takutnya itu, Resa telat datang dan tidak menjemput.

"Kau udah gede! Jadi balik sendiri bisa kan?" Resa heran, mau sampai kapan anaknya ini manja dan minta jemput terus.

"Kan ayah bilang nggak boleh lama-lama sendirian di luar, otomatis bebas dong kalo mau minta jemput!"

Resa mendengkus kesal. "Ya sama ayahmu sono!"

"Nggak! Maunya sama mama!" Raza kesal. "Pokoknya sama mam—"

"Diem? Atau ditinggalin nih?" desis Resa, sembari melirik sekitar beruntung tidak ada yang mendengar sebutan Raza terhadapnya. "Inget di tempat ramai panggilnya papa."

Raza melepas bekapannya. "Mama!" Bebal sekali.

"Okee kalo gitu." Resa sungguhan meninggalkan Raza.

"Ih ma—papa!" teriak Raza, berlari mengejar Resa. "Jangan ditinggalin! Aaaaa gendong!" Benar-benar persis bocah. Padahal tidak lama lagi mau masuk SMP.

Resa berhenti dan berjongkok. "Buru."

Raza girang, langsung melompat dan memeluk erat leher Resa. "Sayang mama," bisiknya.

Resa hanya berdeham, walau aneh—ah maksudnya ada rasa yang menyenangkan. Menyimpang dan bertentangan, walau akhirnya bisa membuatnya bahagia. Apa boleh buat?

"Mama ayo jalan-jalan dulu gitu!" Raza bosan di rumah terus.

"Ke mana?"

"Ya ke mana aja! Ayo mama!" pintanya.

"Oke, mampir ke restoran aja."

"Maksudnya restoran yang dulu mama kerja?" Raza masih ingat betul. "Emangnya mama nggak kerja di kantor ayah lagi?"

"Nggak di sana, karena mama sukanya part time aja." Resa heran, menyuruh Raza berhenti menyebut mama. Tetapi, dirinya suka tanpa sadar menyebut mama.

Ah sudahlah!

Resa pusing memikirkan, yang terpenting bisa tenang dan bahagia. Bebas dari tekanan Revan, terus saja egois. Habisnya, tidak mengharapkan cucu buruk sepertinya. Terus saja memaksa untuk ikut dan menuruti keegoisannya itu.

Raza anteng duduk di kursi pojok, sembari menatap menu makanan dan minuman. Sedangkan Resa, bertemu teman lama ketika part time.

"Seriusan part time lagi?" Fathur, si kasir di restoran. Tidak mengira akan kunjungan Resa. "Kau dipecat?"

"Nggak dipecat, karena aku malas jadi pegawai kantoran. Lebih suka part time aja."

Fathur malah terkekeh. "Kau aneh, diberi kerjaan bagus malah minta jadi pelayan di restoran."

Gila! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang