Raza menangis lagi, karena saat bangun efek demam, dan Resa tidak ada. Terus merengek meminta diantar, akhirnya Arga terpaksa mengabulkan. Dengan syarat harus makan dan minum obat dulu.
"Kau masih yakin ingin menikah?" Agam sengaja mempertanyakan.
Memang senang, melihat Arga mau tetap menjalankan hubungan normal. Tetapi kenapa malah perubahannya buruk dan emosian? Kasar pada anak? Bahkan, mengekang.
"Aku sebenarnya bingung, Yah." Arga mengusap kasar wajahnya.
"Kau masih menaruh rasa pada Resa?"
Arga tidak merespon, tetapi Agam yakin kalau Arga memang masih mengharapkan Resa.
"Aku muak! Melihatnya berdua dengan wanita, padahal aku udah jujur! Dia malah ikutan muak! Akhirnya, aku malas lanjut lagi dan membawa Raza ke sini."
"Resa berduaan? Kau yakin dia kencan? Menjalin hubungan?" Agam sengaja mendesak. "Ayah tau, kau selalu mengamatinya."
"Ya, ternyata cuma wanita itu aja yang suka, sedangkan Resa tidak. Aku bahkan sempat menuduh dia akan berkencan lagi, kenyataannya tidak, aku masih berpikir dia akan menerima wanita itu. Karena setiap kali aku jujur, dia bilang dia bukan gay."
"Dia begitu, karena memang sifatnya emosian dan cerewet. Meskipun kau mendekatinya, dia sedikitpun nggak menolak bukan? Kaunya malah cemburu duluan!"
Arga tahu itu, makanya menyesal. Seketika terusik, saat tangannya ditarik-tarik.
"Ayah ayo ke mama!"
Ketika sampai dan ini pagi buta, agak heran karena rumah Resa terasa sepi. Maksudnya, tidak ada tanda-tanda Resa ada di rumah. Bahkan, Arga sudah mencari tahu sendiri, apa Resa sudah part time lagi, itu pun belum jam kerjanya. Ternyata belum.
"Mama!" panggil Raza, tidak peduli akan mengganggu tetangga.
Masih tidak ada jawaban, mengira pintunya terkunci. Sayangnya, tidak karena Resa sepertinya lupa.
Raza menerobos, membuka pintu kamar Resa dan kamar yang pernah menjadi miliknya. Tetap tidak ditemukan, tetapi terusik mendengar suara keran air menyala dari kamar mandi.
"Mama!" panggil Raza lagi, tetapi heran karena pintu kamar mandi tidak terkunci, dan merasa lantai mulai becek. "Mama!"
Arga awalnya enggan masuk, langsung terusik mendengar teriakan histeris anaknya itu.
"Ayah! Mama! Nggak bangun! Mama berdarah!"
Arga mematung, melihat kondisi Resa yang sepertinya ingin bunuh diri. Buktinya, pergelangan tangannya terus mengeluarkan darah. Tubuhnya mendingin.
Sial! Ini nggak mungkin!
"Ayah mama gimana?" Raza takut, kalau Resa benar-benar meninggalkannya. Ditambah, melihat darah yang menggenang di lantai kamar mandi.
Arga masih gelisah, sama merasakan ketakutan. Mengira terlambat, pasalnya pasti Resa sudah cukup lama tidak ada yang tahu percobaan bunuh diri yang Resa lakukan.
Padahal, saat izin pulang setelah berhasil lepas dari Raza. Resa biasa saja, hanya terlihat murung. Ya, efek merindukan orang tuanya.
Sial!
Arga frustrasi, semakin merasa bersalah. Harusnya, tetap biasa. Jadi, tidak akan seperti ini. Seketika terusik, saat dokter yang menangani Resa keluar.
"Ba-bagaimana keadaannya?"
"Terlambat sedikit aja, akan benar-benar kehilangan nyawanya. Dia kehilangan banyak darah, ditambah urat nadinya hampir putus, karena dia mengirisnya begitu dalam. Sementara waktu, dia koma entah sampai kapan."
Arga bernapas lega, tetapi semakin frustrasi. Kini membiarkan Raza yang masuk duluan untuk melihat. Resa terlelap dan pucat sekali, walau sudah melakukan transfusi darah, tetap saja tidak akan langsung baik seperti sedia kala.
"Mama." Raza tidak mau pulang, mau di rumah sakit. Karena masih demam, sekalian ikut diperiksa juga.
"Nggak perlu dilanjut." Arga kembali menemui wanita yang lumayan lama dekat dengannya.
"Kenapa?"
Arga meskipun ingin mencoba menjalin hubungan normal lagi, tetap saja sulit. "Aku gay, dan sudah menyukai pria ...."
"Ah sudah kuduga, habisnya tatapanmu aneh, pada mantan pegawaimu."
"Maaf, berusaha normal tapi perasaan tidak bisa ...."
"Aku tau, aku juga merasa kau mendekat hanya menjadikanku pelampiasan."
Arga selalu mengunjungi Resa, yang masih tidak sadarkan diri dan ini sudah seminggu. "Kau kapan bangun? Aku frustrasi tau!"
Amaidevil
See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gila! [END]
Random"Papa." Resa geram. "Pokoknya mama! Mama! Mama!" Raza bebal-eh? "Laki-laki otomatis papa, bukan mama!" Kesabaran Resa sudah diambang batas, bila tidak terus ditahan akan mengamuk. Raza diam, lambat laun berkaca-kaca, dan sesenggukan. "Mama! Mama! Ma...