23. Hilang

121 8 1
                                    

Resa berbaring telungkup, efek pegal dan nyeri. Walau tidak terlalu sakit, tetap saja lelah menghadapi kemesuman Arga.

"Apa? Beneran diculik?"

Arga masih belum jawab, duduk di tepi ranjang dan sibuk mencari tahu tentang Raza.

"Saat diculik dulu, Raza nggak sampe luka parah kan?" Resa semakin penasaran.

"Nggak sih, cuma yang bikin bingung, apa mau mereka?" Arga pusing dengan hal itu.

"Lebih bagus kau temui sekarang deh."

"Kau ikut juga."

Resa menggeleng. "Sendiri aja sana! Atau sama Raza, sekalian cari tau!"

"Oke, tapi kau jangan ke mana-mana!"

"Iya, bawel. Dah sana!" Resa juga masih pegal, untuk apa pergi.

Raza sedari tadi menunggu dijemput akhirnya datangnya, tetapi heran karena cuma Arga.

"Mama mana?"

"Mama bobo, jadi ayah sendiri." Arga menggendong Raza. "Kita menemui orang dulu ya?"

Raza melirik bingung. "Siapa? Mama nggak ikut?"

"Nanti juga kau tau, mama nggak ikut karena bobo."

Raza cemberut, karena maunya ke manapun harus ada Resa. "Iya."

Sementara itu, Resa terbangun setelah terlelap efek lelah menghadapi kemesuman Arga, kini berada di dapur karena haus.

Beruntung kondisi dapur sudah bersih, jadi dirinya tidak perlu repot membersihkan pergumulan tadi.

"Ah iya, belum masak."

Gara-gara Arga, jadi telat masak. Kini sibuk mengambil sayuran dan mencuci lagi, dan hendak mengambil pisau, terusik karena bunyi bel.

"Siapa sih?"

Habisnya, saat membuka pintu tidak ada orang. Detik itu juga yakin, kalau ada orang iseng.

"Kuker ban—emphh!"

Di sisi lain, Arga mendadak mematung, dan refleks menginjak rem.

"Ayah kenapa sih?" Raza heran. "Ayah!"

"Ah iya." Arga bimbang, meski begitu tetap menuruti ucapan Resa, menemui keluarga dari wanita pembuat onar itu.

"Nggak kusangka, kau akan datang dengan sendirinya." Dave ayah dari Laura, wanita yang mati dibunuh oleh Arga, merupakan ibu kandung Raza, menyambut.

Arga terkesan biasa, tetapi waspada. "Hanya ingin meluruskan masalah."

Dave mendengkus. "Kau masih nggak paham kah?"

Arga mengerutkan kening.

"Aku memang nggak pernah menganggap Laura, lagi pula dia itu anak dari wanita pelacur, makanya nggak peduli kau bunuh dia, atau apapun. Yang kuinginkan itu, anakmu."

"Ya, kau mau apa?" Arga tidak ingin, Raza ikutan rusak.

"Ya, untuk tinggal denganku lah! Kan dia cucuku gimana sih? Kau saja terlalu menjauhkannya dariku! Makanya dulu aku menculik sebentar agar bisa bersamanya, terpaksa membiarkan kau menyelamatkannya, karena nanti kau malah ngira aku akan lakuin hal buruk."

Arga berkedip, karena masih loading. Benar-benar di luar perkiraannya.

"Ah dia sudah besar kah? Ayo mendekat sini."

Raza awalnya takut, akhirnya menurut. Walau sempat, dicekal Arga, karena masih tidak percaya. Akhirnya, dibiarkan.

"Asal kau tau saja ya, aku juga gay sama sepertimu. Makanya, Laura kematiannya nggak kupedulikan, yang kuingin dapatkan dari pelacur sewaan itu anak laki-laki, dan aku berhasil dapat. Bukan berarti aku membenci cucuku sendiri."

"Jadi, sungguhan salah paham?"

"Ya, makanya kau jangan terlalu posesif dan menyembunyikan anakmu ini!"

"Lalu kenapa malam itu anak buahmu yang menguntitku malah meracuniku hah!" Arga masih tidak terima.

Dave berpikir sejenak. "Oh itu iseng, nggak ada kelinci percobaan ya kau saja. Lagi pula, kau sudah membiasakan diri dengan racun kan?"

Arga berdecak kesal, di satu sisi lega masalah selesai. "Kau juga jangan terkesan menyuruh anak buahmu menguntit yang bikin ganggu!"

Dave terkekeh. "Oke, oh iya sepertinya anak buahku sudah membawanya ke sini."

"Maksudmu?"

Dave menunjuk seseorang, ternyata Resa. "Dia pasanganmu bukan?"

Arga emosi. "Kau mau apa lagi sialan!"

"Eits tenang dulu, asal kau tau aja ya. Ada yang menyewaku untuk membunuhnya, kalau nggak salah namanya Revan."

Arga mematung, begitu juga dengan Resa yang sudah lepas dari anak buah Dave.

"Kau bilang siapa?" Resa takutnya salah dengar.

"Revan."

Resa tidak habis pikir. "Pak tua egois itu masih aja mengganggu!"

"Ah jadi kerabatmu kah?" Dave tidak menyangka.

"Kau serius ingin membunuhku?" Resa melirik Dave.

"Memang tawarannya menggiurkan, tapi kalo terjadi yang ada malah menjadi masalah sungguhan dengan dia." Sembari menunjuk Arga, semaki emosi.

"Begini saja, lebih baik diganti orang lain, seolah kau sungguhan mati, padahal nggak."

Resa bingung, berbeda dengan Arga paham sesuatu.

"Pindah negara kah?"

Dave terkekeh. "Ya, lagi pula aku juga nggak akan lama lagi di sini. Akan kembali ke markas utama. Anggap aja, di sini untuk liburan."

Resa masih diam, tidak habis pikir sebegitu bencinya Revan ah bahkan kerabat lain.

"Mama." Raza walau masih belia, tetapi paham maksudnya. Tidak mau kehilangan Resa.

Resa mendengkus. "Dia bener-bener egois, padahal aku nggak menuntut apapun. Justru dia yang munafik dan malah menumpahkan semuanya padaku."

"Pergi dari sini saja, dan kau akan berhenti diusik, dan jalani hidup baru gimana?"

Resa bimbang, ditambah orang tuanya dimakamkan di sini, dan negara ini kelahirannya. "Terserah."

"Sesekali kita akan berkunjung, sebagai liburan." Arga paham, makanya tetap memutuskan bersama dan menunggu pendapatnya.

Resa mengangguk. "Ayahmu juga?"

"Tentu saja, lagi pula sudah ada asisten yang berpengaruh di sini, dan aku memang akan di pindah ke perusahaan negara lain, lebih tepat sih pekerjaan gelap juga."

Resa menurut saja, walau belum bisa. Kini hanya diam, sembari pulang untuk mengemasi barang.

"Tadi, kau dikasari?" Arga baru ingat, anak buah Dave menculik Resa.

"Nggak, mereka hanya membiusku saja."

Arga lega. "Sekarang aku ah bahkan ayahku, Raza, adalah keluargamu. Jadi, lupakan kerabatmu yang egois oke?"

Resa terkejut, kemudian mengangguk dan dengan mata berkaca-kaca. "Ya."

Amaidevil
See ya!

Gila! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang