20. Emosi

92 6 1
                                    

Resa hendak tidur lagi, terusik karena tidak terlihat penampakan Arga lagi. Tetapi lega, karena tidak terusik. Namun, semuanya sirna karena ada yang menjadi beban pikirannya muncul.

"Resa."

Yang dipanggil tetap mengabaikan, dan tidur.

"Aku cemburu wajar kan?" Arga ikut berbaring dan mendekap erat Resa dari belakang. "Aku nggak suka melihatnya."

Sayangnya, malah menjadi masalah. Arga semakin diabaikan oleh Resa. Meski begitu, malah menyuruh asisten untuk menghandle kantor, dan dirinya sendiri mengawasi.

Efek cemburu dan penguntit kemarin, membuat Arga was-was campur frustrasi.

"Kenapa?" Resa heran, dengan kelakukan Fathur.

"Ada pengunjung, kalo diperhatikan sedari awal masih di sana, dan mengamatimu. Jangan-jangan ...."

Resa melirik ke orang yang dimaksud Fathur, mengerutkan kening sejenak. Hingga mengenali dengan jelas kalau yang mengawasinya adalah Arga.

"Biarin aja."

Fathur tersentak. "Kau kenal?" bisiknya.

Sadar atau tidak, itu semakin membuat Arga kesal dan cemburu dengan keakraban Resa dengan Fathur.

"Ya, dia ayahnya anak angkatku." Resa membalas santai, dan terkesan berbisik, kemudian lanjut kerja lagi.

"Pantesan."

Di jam istirahat, Resa masih menyelesaikan sedikit pekerjaan. Baru akan gabung dengan yang lain, untuk makan.

"Lebih baik kau pergi."

Arga tidak menggubris, sengaja terus menghalangi jalan. Ah, kini mencekal dan menarik Resa.

"Kau mau apa sih? Ganggu orang kerja aja!" Resa muak, seketika berdesis ketika terhempas pada dinding toilet dan di disudutkan.

"Seperti yang kukatakan tadi malam, aku nggak suka melihatmu akrab dengannya!" Arga cemburu buta.

"Dia cuma temen!" Resa emosi. "Minggir sialan!" Berhasil mendorong kasar Arga agar menyingkir.

"Diem!" Arga sungguhan marah dan cemburu, kembali menahan Resa dan menyudutkannya.

"Sia—ngh!"

Arga membungkam kasar, dan sengaja menekan lututnya di selangkangan Resa. Terus menahan pergerakannya karena berontak.

Resa mengerang, berusaha melepaskan diri. Yang berhasil hanya satu tangan, dan ya menampar keras Arga.

Arga sendiri mematung.

"Bikin muak sialan! Minggir!" Resa menendang kasar tulang kering Arga. "Kalau masih nggak percaya tanya langsung padanya! Kau pikir aku nggak muak!"

Arga berdecih, semakin frustrasi. Sebelum Resa benar-benar pergi, kembali dicekal dan ditarik kasar hingga duduk di pangkuannya.

"Lepas sialan!"

Arga tidak menggubris, kembali membungkam dan tak segan mengigit keras bibir Resa. Bahkan melucuti pakaian bawah Resa dan dirinya sendiri.

Resa berkaca-kaca, ketika bagian bawahnya diterobos kasar. Ditambah, Arga tidak peduli, malah semakin menggerakkannya dengan cepat dan kasar sekali.

Arga melepas bungkamannya, menatap bibir Resa yang bengkak dan berdarah.

Resa berdesis, karena ini sungguh sakit. Arga benar-benar tak berperasaan mulai menarik turunkan tubuhnya.

"Hentikan ini sakit!"

Arga tidak menggubris, semakin menahan pergerakan Resa. Sengaja menekan dan bergerak kasar lagi, tidak peduli dengan ringisan Resa.

Resa tidak menyangka, Arga marah besar seperti ini. Padahal, dirinya sudah jujur karena tidak berhubungan dengan siapa pun. Sebatas teman saja.

Gila! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang