Hari yang ditunggu tiba. Hari seleksi akademik sekaligus penentuan untuk masuk ke Dharma Bangsa.
Hari ini akan menguji seluruh usaha Kinara selama ini.
Perlahan Kinara berdiri di depan gerbang utama Dharma Bangsa sebelum menghela napas dan tersenyum. Langkahnya langsung memasuki wilayah itu.
"Saya sudah berusaha sejauh ini, apapun hasilnya, saya tidak akan menyerah," batinnya.
Ujian dilaksanakan berbasis komputer selama tiga jam. Dia berusaha fokus dalam mengerjakan semuanya dan melakukan manajemen waktu dengan baik.
Sesekali perkataan Bara terngiang di benaknya. "Kalau kamu tidak berusaha mengejar impianmu, orang lain akan mempekerjakanmu untuk mewujudkan impian mereka."
Dia ingin memiliki mimpi sendiri dan tak selamanya menjadi asisten rumah tangga. Dia ingin bisa memiliki masa depan yang lebih baik dan membawa kembali ibunya ke tanah air. Setiap kali dia lelah, dia selalu mengingat ibunya.
"Hah ... Alhamdulillah." Kinara menghela napas begitu keluar dari ruang ujian. Bahunya terasa sangat pegal.
"Bagaimana?" tanya sebuah suara yang sangat dikenalinya.
Begitu mendongkak ke depan, dia mendapati sebuah mobil sudah terparkir di sana. Ada Bara yang tengah memakai masker dan kaca mata hitam agar tak dikenali.
Kinara sedikit kaget. "Tuan?" Jelas saja, selama sepekan ini pria itu melakukan perjalanan bisnis.
Tak lama dia hanya tersenyum tipis dan mengacungkan jempolnya. "Tapi saya agak deg-degan soal hasilnya, Tuan."
Bara tersenyum tipis. "Tidak usah dipikirkan, kamu sudah melakukan yang terbaik. Masuklah! Ayo kita pulang."
Mereka langsung menuju ke rumah.
"Tuan? Bagaimana tuan bisa ada di sini?"
"Saya pulang lebih awal. Jadi sekarang kamu masih ada waktu satu bulan untuk mendengar hasilnya, 'kan?"
"Iya, Tuan."
"Kinara? Apa kamu tidak ingin bertemu ibumu?" Pertanyaan itu muncul tiba-tiba.
Sontak Kinara menoleh ke arah pria yang tengah menyetir itu.
"Akan sangat menyenangkan masih memiliki orang tua dan mengetahui mereka berada di suatu tempat di dunia ini, sehingga masih bisa ditemui. Jika mereka sudah pergi untuk selamanya, seluruh dunia ini terasa hampa sekali." Bara mencurahkan sedikit perasaannya dalam ungkapan itu. Begitu hampanya dia menjalani hidupnya seorang diri.
Entah sejak kapan manik hitam Kinara berkaca-kaca. "Saya ingin sekali, Tuan. Ingin sekali," akunya dengan suara parau.
Bara memilih diam dan tak menanggapi apapun sampai mereka tiba di rumah.
Begitu masuk ke ruang tamu, seseorang tengah duduk di sana membuat Kinara terpaku.
Wanita paruh baya itu berdiri begitu Kinara tiba. Keduanya saling pandang sebelum tiba-tiba air mata Kinara terjatuh begitu saja membanjiri pipinya. Begitupun dengan wanita tersebut.
"Kinara?"
Kinara mengangguk pelan. "Ya, ibu ...."
Seketika keduanya langsung menghambur dan berpelukan erat. Isakan tangis langsung terdengar.
Setelah bertahun-tahun pergi, Kinara merasa telah menemukan tempat pulang ketika memeluk ibunya. Seluruh bebannya selama ini seolah lepas. Luka yang ditanggungnya seperti perlahan sembuh. Dia tak dapat mendeskripsikan perasaannya, antara haru, sedih, senang, bahagia, rindu, dan semuanya bercampur menjadi satu. Menjadi sesuatu yang sangat menyesakan dadanya.
"Maafkan saya, Ibu. Maafkan saya ...." Kinara hanya sanggup mengucapkan kalimat itu setelah bertahun-tahun lamanya menyusahkan ibunya, hingga wanita paruh baya itu harus menanggung rindu bertahun-tahun di negeri orang, jauh dari keluarga demi bisa membiayai hidupnya. Dia merasa sangat bersalah sebagai seorang anak.
Bara yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum sebelum meninggalkan sebuah pesan singkat di atas meja.
"Saya akan di rumah utama selama Ibu Wiji di sini. Nikmatilah waktu-waktu tersebut, saya tidak akan mengganggunya. Dava akan mengurus seluruh biaya yang dibutuhkan. Silahkan jalan-jalan atau melakukan kegiatan bersama selayaknya ibu dan anak. Jangan terlalu stress dengan hasil seleksi, berbahagialah mulai sekarang. Paham?"
Benar saja, selama hampir sebulan Wiji di sana, Bara tak pernah pulang ke rumah keduanya itu. Dia benar-benar memberikan waktu Kinara dengan ibunya. Dia juga menanggung segala biaya yang dibutuhkan. Seperti biaya jalan-jalan, makan, dan lainnya.
Kinara melakukan banyak kegiatan bersama ibunya. Seperti shalat berjama'ah, masak bersama, jalan-jalan, makan bersama, berbelanja bersama, saling membagikan cerita satu sama lain yang telah terlewat selama bertahun-tahun lamanya. Itu hari-hari yang begitu indah dan Kinara sangat bersyukur dapat melaluinya.
Suatu hari dia bertanya tentang ayahnya. Pria yang telah mengkhianati ibunya, pergi tanpa belas kasihan dengan perempuan lain, dan tidak bertanggungjawab terhadap anaknya.
"Ibu? Apa ibu masih marah pada ayah?" Kinara ingat, dulu ibunya selalu mengirim surat yang intinya berisikan anjuran untuk membenci ayahnya, walaupun berkali-kali Kinara gagal melakukannya. Dia hanya sampai pada tahap muak, tapi tidak sampai membenci. Itu sangat menyiksa dirinya. Karena bagaimanapun juga, hubungan darah itu sangat sulit dipisahkan, meskipun dia sangat ingin membenci ayahnya.
Wanita paruh baya itu menghela napas seolah tengah menahan kegetiran di hatinya. "Kesalahan ayahmu sangat sulit dimaafkan. Bertahun-tahun ibu sangat marah padanya dan menyuruhmu agar membencinya, tapi suatu hari ibu sadar, memaafkan sebenarnya lebih untuk diri kita sendiri. Membuat kita lebih lega. Memendam kebencian itu sungguh menyiksa, meskipun rela untuk memaafkan pun terasa sulit.
"Tapi ... semuanya sudah terjadi sebagai bagian dari kisah hidup. Hidup ini harus tetap berjalan dan dijalani. Meskipun sampai pada tahap memaafkan itu sangat lama dan membutuhkan waktu, tapi ada hal yang selalu ibu ingat, kita ini hanya manusia biasa yang juga punya banyak kesalahan. Maka belajarlah untuk memaafkan, sebagaimana kita pun sangat ingin dimaafkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Tidak ada wanita yang rela dikhianati Kinara, tapi itu semua di luar kendali. Ibu tidak akan memaksamu lagi tentang cara pandangmu terhadap ayahmu. Apapun yang akan kamu putuskan, itu hakmu. Tapi ibu hanya ingin kamu tahu, seburuk-buruknya ayahmu, dia tetap ayahmu. Kamu tetap wajib berbuat baik dan berbhakti kepadanya, karena berbhakti kepada orang tua itu bukan karena membalas jasa orang tua atau karena orang tua itu berbuat baik kepadamu, tapi karena berbhakti kepada orang tua itu adalah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Ada namanya mantan istri atau mantan suami, tapi tidak ada namanya mantan anak.
"Ingatlah dua ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik." (QS. Fushilat : 34)
"Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (QS. Asy Syura : 40)
Tak lama Kinara memeluk ibunya dengan erat. Berusaha melepaskan kepedihan di hati mereka.
"Kinara? Dalam perjalanan hidupmu, ada beberapa orang yang menorehkan kesalahan dan luka dalam hidupmu, tapi kamu bisa memilih untuk memaafkan dan belajar dari itu atau membiarkan diri terus terluka, membenci, dan menyimpan dendam. Kamu yang putuskan. Mintalah kepada Allah Ta'ala kelapangan di hatimu agar kamu dapat memaafkan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinara VS Mr. Perfeksionis (TAMAT)
Tâm linh📚 PART LENGKAP #Karya 12 Kinara hanya memiliki dua cita-cita, yaitu membawa kembali ibunya yang bekerja sebagai TKW di Malaysia dan bisa melanjutkan kuliah. Keluarga ibunya yang masih memegang prinsip bahwa wanita tak perlu sekolah tinggi karena d...