Mengabdi

1.1K 147 4
                                    

Hari itu Bara menghadiri acara syukuran milik Panti Asuhan Yatim Nurul Jannah. Panti asuhan yang dulu merawatnya saat masih kecil.

Dia banyak mendonasikan hartanya untuk panti asuhan tersebut dan membuahkan hasil yang baik, karena hari itu 30 anak panti asuhan berhasil meraih gelar sarjana.

"Kami ucapkan terima kasih kepada para donatur yang telah banyak membantu. Hari ini yang hadir adalah yang kami hormati, Pak Aaraf Bara Rafardhan. Terima kasih atas perhatiannya terhadap kami dan terhadap pendidikan ...."

Bara tersenyum mendengar pidato seorang pria muda yang berada di panggung itu. Sungguh sangat membahagiakan dan menghibur hatinya.

Setelah sekian lama dia merasa tidak berguna, kini dia berpikiran lain. Bagaimanapun caranya memandang dirinya tidak berguna karena perkembangan perusahaannya yang semakin merosot, setidaknya dia telah membantu anak-anak yatim yang kehilangan sosok ayah dan ibunya sejak kecil maupun anak-anak yatim dari keluarga nelayan di pedalaman itu untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Setelah acara, dia menemui Ayu. Ibu pembinanya dulu yang sekarang menjabat sebagai pimpinan panti asuhan. Wanita itu sudah lanjut usia dan duduk di atas kursi roda.

"Calon istri kamu cantik," ujar Ayu sambil melihat ke arah Kinara yang tak jauh dari mereka tengah berbincang dengan beberapa anak-anak kecil sambil sesekali tertawa.

Ya, Bara sengaja menyuruh Kinara datang agar termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya. Mereka tak datang bersama dan tak semobil, karena semenjak Kinara merubah penampilan, baik Bara maupun Kinara seperti lebih menjaga sikap. Seperti tak berdua-duaan di tempat sepi, tidak jalan-jalan tak penting, tak saling bersentuhan bahkan seperti salaman sekalipun, tak saling tatap-tatapan dengan sengaja, tak saling ngobrol tak penting, dan lainnya. Kinara banyak menundukan pandangan.

Bara melihat ke arah yang sama dengan Ayu sebelum hampir tertawa. "Bukan calon istri saya, Bu."

"Masa sih?" Ayu heran.

"Iya, Bu. Lagipula dia belum tentu mau sama saya."

Kali ini Ayu bertambah heran. "Masa ada yang enggak suka sama kamu, Bara? Ibu enggak percaya."

"Kinara mungkin beda, ya, Bu," timpal Bara.

"Kamu udah pernah ngomong atau tanyain belum?"

"Belum, Bu. Tidak berani saya."

Tentu saja, dia sudah dapat memperkirakan jawaban Kinara yang pasti menolaknya. Dalam hidup Kinara, dia pernah menjadi majikan yang kejam dan pelaku pemerkosaan serta penyebab trauma yang dalam bagi gadis itu. Bahkan alasan Kinara berhenti menjadi asisten rumah tangganya karena trauma dengan perbuatannya.

"Kok enggak berani? Memangnya kamu siap dia diambil orang?"

Pertanyaan itu sanggup membuat Bara terdiam lama. Pertanyaan yang sulit. Apa dia siap? Meninggalkan Kinara di ponpes Al Huda saja sudah menguras air matanya apalagi harus merelakan Kinara bersama pria lain.

"ALLAHU AKBAR ... ALLAHU AKBAR ...." Suara adzan Dzuhur menggema di seluruh kompleks panti membuat Bara tersadar dari pikirannya yang kalut.

"Udah adzan. Kamu imamin anak-anak, ya."

Bara tertawa miris. Ya, menertawai kegalauan hatinya sendiri yang disuruh menjadi imam sementara dia sudah lama tak shalat. "Jangan saya, Bu. Pak Wahid saja." Dia mengarahkan pada suami Ayu.

"Kamu aja. Ibu kangen. Dulu waktu kamu masih SD, kamu sering banget ingetin dan ajak temen-temen kamu untuk shalat."

Rupanya sejak dulu Bara teladan di antara teman-teman seusianya. Entah sifat baik itu hilang kemana. Sejak keluar dari panti asuhan, dia seperti pindah dunia.

"Pak Wahid saja, Bu. Saya benar-benar tidak bisa," tolaknya.

Untuk pertama kalinya dia kembali berwudhu dan masuk ke masjid Al Ikhlas di kompleks panti itu untuk melaksanakan shalat.

Tak banyak yang berubah dari masjid itu, membuat beberapa kenangan masa kecilnya terngiang-ngiang di benaknya.

Dia selalu shalat di shaf depan, membaca Al-Qur'an di pojok dengan susah payah, dan menyetorkan beberapa hafalan surah pendek kepada Wahid.

Setelah bertahun-tahun lamanya, dia kembali berdiri di shaf depan untuk melaksanakan shalat. Sisi emosionalnya langsung terusik. Seperti sesuatu dalam dirinya bergemuruh dan tak sadar ada cairan yang muncul di sudut matanya. Dia menangis.

Siang itu dia menyadari, ambisi pada harta, jabatan, dan kekuasaan pernah membuatnya begitu jauh dari sumber ketenangan bahkan hampir buta. Dia mencari-cari di mana ketenangan itu berada melalui minum-minuman keras, berzina, liburan keliling dunia, tapi ketenangan itu tidak pernah diraihnya.

Namun, saat takbir pertama kali untuk shalat, jiwanya seolah beristirahat dari segala kepenatan dunia yang melelahkan. Perlahan setitik ketenangan yang dirindukan itu mulai muncul di hatinya dan kemudian menjalar menjadi seperti sebuah cahaya ketenangan yang melingkupi batinnya. Dia menemukan ketenangan itu. Tepat saat melaksanakan shalat berjama'ah di masjid dengan pikiran yang terpusat mengingat Sang Pencipta. Allah 'Azza wa Jalla.

***

Setelah shalat berjama'ah, Bara berkeliling sebentar melihat-lihat panti asuhan tempatnya dibesarkan itu. Lagi-lagi tak banyak yang berubah membuatnya terkenang masa kecilnya.

Dulu dia memang selalu merasa kehilangan sosok orang tuanya, tapi setidaknya dia punya kenangan indah di tempat itu. Ada orang-orang yang tak memiliki hubungan darah, tapi tulus peduli padanya.

Kini setelah melewati beberapa masa dan berada dalam satu lingkungan yang sulit membedakan antara teman dan lawan, dia semakin menyadari betapa berharganya memiliki orang-orang yang benar-benar peduli tanpa pamrih kepadanya.

Kinara, Ayu, Wahid, dan panti asuhan Nurul Jannah itu telah membuatnya yakin, dunia masih tempat yang nyaman untuk ditinggali.

Pada akhirnya Bara memutuskan untuk mulai mengabdikan dirinya di sana.

"Bu? Boleh saya bangun rumah dekat sini? Saya ingin bantu anak-anak."

Ayu malah tampak bahagia. "Boleh banget, Bara. Enggak usah bangun rumah, rumah di belakang tempatnya Mbak Kia 'kan udah kosong. Kalau mau, Bara tinggal di situ aja."

Itulah awal mula dirinya berubah. Dari orang yang berlumuran dosa menjadi pemburu hidayah.

Dia membantu melayani anak-anak di sana sebelum dan sepulang kerja. Hidupnya menjadi begitu berwarna. Dia bertekad menghadirkan sosok ayah yang hilang dari anak-anak itu.

Membantu menyuapi anak-anak laki-laki yang masih kecil setiap pagi dan sore, membantu menyendokan makanan untuk anak-anak panti, mengajak mereka shalat, mengajari Iqro' dan pelajaran-pelajaran sekolah bagi anak-anak yang sudah cukup besar. Dia makan seadanya dan hidup sederhana. Entah bagaimana dia menjadi begitu tenang.

Perkembangan perusahaannya memang merosot tajam, tapi setiap hari dia selalu bahagia. Tak begitu stres atau bahkan ingin bunuh diri.

Jika ada aset pentingnya yang harus dijual, dia menjualnya dengan lapang. Meskipun sedikit sedih, tapi tak sesedih itu. Karena dia sudah tahu sumber ketenangannya. Ya, Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.

Kinara VS Mr. Perfeksionis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang