Bab 17. Tujuh Bersaudara

62 24 0
                                    

Dahulu kala, diceritakan bahwa ada sepasang suami istri yang tinggal di hutan belantara. Keduanya merupakan keturunan langsung dari dua pimpinan suku penghuni hutan itu.

Sang istri adalah putri dari kepala suku penjaga hutan. Sedangkan suaminya, adalah putra dari kepala suku pendatang.

Kedua suku itu sering berkonflik dan melakukan perang yang tak berkesudahan. Tapi, karena cinta dan pernikahan yang dilakukan oleh anak mereka. Kedua suku itu pun memilih untuk hidup dalam perdamaian.

Kehidupan pernikahan mereka sangat bahagia dan dikaruniai oleh 7 orang anak. Lima di antaranya adalah laki-laki. Sedangkan anak bungsu dan sulung mereka adalah perempuan.

Anak pertama, seorang perempuan yang tangguh dan berotak cerdas.

Anak kedua, seorang laki-laki yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari tanaman obat.

Anak ketiga, seorang laki-laki yang mencintai hewan-hewan dengan sepenuh jiwa.

Anak keempat adalah pria berjiwa bebas yang suka berpetualang menjelajahi hutan.

Anak kelima, seorang laki-laki yang sangat lembut tutur katanya dan menyayangi saudaranya lebih dari apapun.

Anak keenam, seorang laki-laki ambisus yang ingin menjadi kepala suku menggantikan kakeknya.

Dan anak ketujuh, seorang perempuan berhati lembut, sekaligus kembaran dari anak keenam.

Tidak ada yang aneh dari itu semua. Setidaknya tidak, sampai suatu ketika, putri bungsu mereka ditemukan tewas bersimbah darah di hulu sungai, dekat dengan area suku pendatang. Putri sulung dan putra pertama keluarga itu juga menghilang dalam waktu yang bersamaan.

Sang kakek, kepala suku penjaga, menuduh jika cucu bungsunya itu dihabisi oleh anggota suku pendatang. Sedangkan kepala suku pendatang justru menuduh kepala suku penjaga yang membunuh cucu mereka sendiri.

Itu karena, anak ketujuh, yang merupakan gadis berhati lembut, sebenarnya memiliki kekurangan fisik. Sebab gadis itu rupanya sudah buta sejak lahir.

Tapi belum selesai mereka saling menuduh, kedua suku kembali dikejutkan dengan penemuan mayat anak pertama dan kedua. Mereka ditemukan dalam kondisi yang sama. Lehernya ditebas dan dibiarkan mati kehabisan darah.

Kondisi yang sudah kacau, makin bertambah rumit karena kematian mereka berdua yang tak wajar.

Kedua suku pun kembali saling menuduh.

Kedua orang tua dari ketujuh anak itu mengalami sedih yang berkepanjangan. Selain kehilangan tiga orang anaknya, mereka juga harus dihadapkan oleh bentrok kedua suku mereka.

Melihat hal ini, anak kelima mereka yang sangat menyayangi saudara-saudaranya pun memutuskan untuk pergi dan mencari kebenaran. Tapi ... Anak itu tidak pernah kembali.

Anak keempat, yang berjiwa bebas, menjadi sangat frustasi oleh keadaan. Dia tiba-tiba saja menuduh anak kelima sebagai pelakunya. Sebab di antara semua saudaranya, memang hanya anak kelima lah yang paling ambisius untuk bisa mendapatkan gelar kepala suku.

Perlahan, semua orang pun jadi mencurigai si anak keenam juga, yang merupakan kembaran dari si anak bungsu.

Apalagi setelahnya, pisau milik anak keenam juga ditemukan tak jauh dari lokasi mayat anak bungsu berada. Maka setelahnya, semakin gencarlah tuduhan mengarah padanya.

Anak ketiga tidak percaya dengan semua itu. Dia yakin jika bukan anak keenam pelakunya. Sebab anak keenam, memang sangat menyayangi dan menjaga saudari kembarnya dengan sepenuh hati.

Bahkan, anak keenam lah yang selalu menemani saudari kembarnya ketika semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Di mata anak ketiga pun, anak keenam lah yang terlihat paling menderita karena kematian saudari kembarnya.

Yes! My Quinn.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang