ALLEGORY (CHAPTER 21: DILEMA)

35 10 24
                                    

Suara sirine ambulan berdengung dari jauh. Geonhak segera memasuki pintu igd otomatis itu lalu melihat sekeliling. Dia menemukan bibi sedang menangis di sebuah bangku, memeluk selimut yang biasa dipakai Dong Si untuk menutupi kakinya.

"Dimana Dong Si, Bi?"

"Dibawa ke dalam, Tuan,"jawab bibi tanpa berhenti terisak. "Maafkan saya Tuan, saya tidak bisa mencegah Tuan Dongju pergi."

Bibi menunduk dalam-dalam. Ekspresi Geonhak saat ini sungguh tidak terbaca. Tapi pria itu hanya mengangguk dan menepuk ringan pundaknya.

"Bibi pulang saja dulu ya? Kabari saya kalau-kalau Dongju kembali ke rumah."

"Baik Tuan,"angguk bibi cepat.

Setelah wanita itu berpamitan, Geonhak segera masuk ke ruang tindakan. Di sana Dong Si sedang berbaring, sudah sadar dari pingsan. Matanya menatap kosong ke langit-langit sambil sesekali mengusapi perut perlahan. Dong Si mencoba menarik dan menghembuskan napas dengan tenang berulang kali.

Dia terlihat lemah dan pucat. Geonhak sungguh tidak bisa menampik rasa bersalah yang kini hinggap di dadanya. Melekat, mencengkram hingga mengalirkan sebuah denyar nyeri ke seluruh pembuluh darah. Dia sudah melakukan kesalaha besar. Menyembunyikan siapa Dongju sebenarnya ternyata bukanlah hal yang mudah.

Mulanya Geonhak berpikir kalau semua akan terasa datar tanpa beban. Bila akhirnya identitas Dongju diketahui, dia tinggal bernegosiasi dan membatalkan perjanjian itu dengan alasan tidak mau menyakiti Dong Si lebih dalam. Namun saat ini, Geonhak tidak mampu memutuskan apapun. Tidak dengan perasaannya yang sedang ditumbuk dilema. Dia mulai menyukai Dongju, namun dia tidak akan mungkin bisa mengabaikan keberadaan Dong Si.

"Dong Si,"panggil Geonhak lembut saat dia mendekat ke arah bangsal.

Dia hanya melirik sekilas, tidak berminat mengatakan apapun pada pria itu saat ini. Dong Si masih sibuk menangkan diri, mulas dan kram di sekitar perutnya belum berkurang. Tadi dokter spesialis dalam bersama dengan Yuta sempat melihat kondisinya, memberi obat lewat injeksi dan sedang mengurus perpindahan ruang observasi. Pria itu mencoba menenangkan Dong Si, meyakinkan kalau semua baik-baik saja.

"Aku_"

"Kau tidak usah datang kemari."

Dong Si memalingkan wajah sedikit. Selang oksigen di hidungnya terasa membatasi pergerakan.

"Aku tidak akan mengajakmu untuk membahas apapun, yang penting kondisimu stabil dulu."

Lagi-lagi Dong Si hanya terdiam. Ada rasa marah dan kecewa bila dia ingat bagaimana Geonhak menyembunyikan segala kenyataan perihal tunangannya selama ini. Tapi Dong Si sadar, dia tidak akan bisa membenci laki-laki itu. Baginya, Geonhak sudah seperti kakak sendiri. Kalau saja Geonhak tidak peduli, dia pasti sudah dibiarkan terlunta hidup di tempat lain yang lebih berbahaya. Bukankah itu sebuah hutang budi yang bahkan tidak pantas membayar rasa sakit dalam hatinya?

Dong Si sungguh menyesali keadaan. Menyesali kakinya yang lumpuh dan tidak bisa berlari kemana pun. Menyesali tubuhnya yang sakit-sakitan. Menyesali mengapa orang-orang di sekitarnya menusuk dia dari belakang.

Mereka menghabiskan beberapa menit berlalu dalam diam. Geonhak tahu saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas apapun. Dia hanya sesekali melihat layar ponsel, mengecek apakah Dongju memberi kabar. Tapi pemuda itu tidak kunjung menghubungi sampai Dong Si akhirnya dipindahkan ke ruang rawat.

Geonhak mengatur suhu ruangan agar lebih sejuk, tapi sepertinya itu tidak cukup menenangkan Dong Si yang terlihat gelisah.

"Apa yang sakit?"

Dong Si menggeleng, menyembunyikan wajahnya ke samping. Dia tidak ingin terlihat lemah dan bodoh saat ini. Padahal dia sudah sangat dekat dengan Dongju. Mereka nyaman dan terbiasa satu sama lain. Dia mulai menerima kehadiran Dongju di rumah itu. Baginya sekarang Dongju adalah sosok yang menyenangkan, ceria, menghibur, dan jelas banyak sekali berkontribusi atas usaha ia untuk bangkit dari keterpurukan.

VAGARY || KIM LEEDO 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang