ALLEGORY (CHAPTER 17 : THE TOUCH)

41 9 51
                                    

Mentari tidak kunjung muncul pagi ini. Dongju sudah menunggunya sedari subuh, tapi yang ia dapatkan hanyalah mendung. Mendung yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Mendung yang mewakili segala kegundahan dalam jiwanya yang mendadak kosong. Mendung yang membuatnya enggan menyapa baik itu orang-orang, maupun dirinya sendiri.

Berbagai ahli sudah menulis teori tentang kesedihan, macam-macam kiat untuk mengatasi kehilangan, berbagai solusi yang bisa ditempuh untuk mengendalikan rasa sedih sebagai bentuk dari teori kompensasi emosi paling sederhana. Tapi ternyata, ketika semua hendak dilakukan, yang terjadi hanyalah penolakan-penolakan tegas dari dalam hati. Bahwa rasa marah, sedih, getir dan menyesal semua akan tetap meluap. Seperti air bah, seperti longsor, seperti bendungan yang tidak mampu lagi menampung air yang selama ini tenang di atasnya. Apa yang bisa dilakukan kalau semua itu ternyata akhirnya hanyut dan tak bersisa? Lama kelamaan ketegaran dalam diri seseorang bisa terkikis seiring berbagai beban masalah dalam hidupnya. Orang yang semula ceria dan memiliki masa depan cerah bisa menderita masalah psikologis dalam satu hari hanya karena sebuah kejadian buruk dalam hidupnya. Semua keadaan seolah jungkir balik merubah haluan.

Hal terberat ketika semua itu menghantam dirimu?

Tentu saja ketika kita harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan semua baik-baik saja karena ada rahasia besar lain yang sebaiknya tetap disimpan. Itu jelas lebih sulit. Dan tidak ada yang bisa memahami Dongju kecuali Geonhak akibat rahasia itu.

"Ju, kau mau kemana?"tanya Dong Si ketika Dongju melintasi ruang keluarga.

"Aku pergi dulu."

"Ya tapi kemana? Apa Geonha tahu? Kau sudah meminta ijin padanya?"

Dongju terdiam sejenak lalu tersenyum tipis. "Dia pasti tahu kemana harus mencariku."

Dongju mengabaikan tatapan heran Dong Si. Dia juga tidak menggubris panggila Dong Si di belakangnya. Dongju segera naik ke dalam taksi yang dia pesan menuju ke sebuah tempat. Sepanjang perjalanan, Dongju sibuk melamun. Dia tidak mendengarkan cerita si supir soal keadaan cuaca yang tidak menentu. Dongju langsung turun dan masuk ke dalam sebuah rumah begitu selesai melakukan pembayaran.

Dia membuka kunci pintu dengan sedikit tergesa. Kakinya melangkah pelan menuju ruang tengah. Mata Dongju menyisir seentaro sisi rumah itu. Tidak ada yang berubah. Geonhak menepati janjinya untuk menyuruh seseorang merapihkan dan membersihkan secara rutin hingga tidak terlihat seperti tempat yang cukup lama terbengkalai.

Lalu bayangan Wookjin muncul seperti hologram yang melintas di sana sini. Dia yang sedang duduk di kursi dengan hotpants dan loose sweter rajut warna navy. Dia yang sedang menelepon sambil tiduran di karpet, dia yang makan salad buah dan sayur di ruang makan. Semua bagian rumah itu memiliki aroma dan visualisasi Wookjin. Sesuatu yang jelas membuat dada Dongju terasa nyeri dan sesak. Kenangan-kenangan bersama Wookjin seperti kepulan uap kopi yang berangsur dingin lalu hilang. Tidak lagi terasa nikmat. Hanya menyisakan mual.

Dongju jatuh berlutut di atas karpet. Tangisnya pecah seperti tumpahan air hujan setelah mendung seharian. Hanya ada keheningan di sana. Tanpa sosok Wookjin. Tanpa harapan bisa mengembalikan saudara kembarnya untuk kembali menjalani hidup sama-sama.

Tuhan kenapa Kau ambil semuanya?

Batin Dongju memelas lirih. Setelah kedua orangtua, sekarang Wookjin yang meninggalkan dia sendiri. Semua kesedihan ini benar-benar mengoyak batin. Dadanya sakit, hatinya perih, doanya seolah pupus oleh kenyataan lain. Dongju tersujud ke lantai. Erangan dan tangisan terdengar pilu, getir, penuh rasa marah yang lepas seperti longsoran salju. Mengubur dirinya dalam dingin dan gelap.

"Kenapa kau yang harus pergi?"bisik Dongju entah pada siapa. Di depan matanya, dia hanya bisa melihat empat kaki meja yang jelas tidak bisa menjawab pertanyaan  barusan.

VAGARY || KIM LEEDO 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang