“Bumi memiliki segalanya untuk semua kebutuhan manusia, tetapi tidak memiliki apa pun untuk keserakahannya.” — Mahatma Gandhi.
**
Samaira sudah terbiasa dengan ketiadaan ayahnya. Pria itu sering meninggalkannya untuk tugas sejak dia masih kecil. Ia akan pergi selama lima atau enam bulan setiap kali ia menerima perintah dari markas. Samaira tahu ketika ayahnya dipanggil untuk bertugas, ia tidak akan kembali dalam waktu dekat. Tapi ia selalu memiliki keyakinan di dalam hatinya bahwa ayahnya akan kembali dengan selamat. Dia tahu ayahnya akan selalu menemukan cara untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya yang dia hadapi.
Tapi tidak untuk hari ini. Berita hilangnya kapal pesiar itu menyebar dengan cepat di India. Beritanya langsung menjadi berita utama karena setengah dari penumpangnya adalah kaum elit India. Samaira mengetahuinya ketika ia sedang menonton televisi sepulang sekolah.
“Kakek! Kakek, lihat ini!” Ia menjatuhkan bungkus keripik kentangnya begitu saja dan berlari menuju kamar kakeknya di lantai atas. Pria baya itu sedang berbicara di telepon jadi dia menunggu sampai selesai.
“Aira? Apa yang terjadi, nak? Kenapa kau menangis?” Rajpal meninggalkan mejanya setelah menutup teleponnya. Ia bisa melihat tetesan air di mata Samaira.
“Papa... Kapalnya...” Samaira tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Rajpal tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Ya, dia tiba di Bahama hari ini. Kita akan segera mendapat telepon darinya. Jangan terlalu dipikirkan, ya?” Katanya dengan tenang.
Samaira hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia menarik tangan Rajpal dan membawanya ke lantai bawah untuk melihat berita. Keduanya menatap layar kaca itu dengan tatapan berbeda. Saluran televisi tersebut kini sedang melaporkan daftar nama penumpang yang menjadi korban bencana tersebut. Mereka semua dinyatakan hilang.
“Sudah tiga belas jam sejak mereka hilang. Tolong lakukan sesuatu, Kakek. Aku punya firasat buruk tentang hal ini.”
Rajpal tidak menanggapinya. Matanya terpaku pada layar di mana foto putranya muncul bersama foto korban lainnya. Hatinya bergejolak memikirkan apa yang ia pikirkan tadi malam. Ia tidak bisa menghubungi Samar sejak panggilan terakhir mereka. Markas besar telah berusaha menghubunginya tetapi masih belum ada kabar baik hingga pagi ini.
Samaira menjatuhkan dirinya di sofa, menangis. Rajpal menatap gadis malang itu dengan kasihan. “Aku akan mencari tahu tentang ini.”
Samaira masih menangis ketika kakeknya meninggalkan rumah. Derap sepatunya menggema di seluruh ruangan. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Kemudian sebuah panggilan suara masuk ke ponselnya.
“Birju, apakah kau sudah melihat beritanya?”Itu adalah Birju. Mereka berteman baik.
“Itu sebabnya aku meneleponmu. Apakah kau baik-baik saja? Ayah menjadi panik sejak berita itu datang.”
Samaira menyeka air matanya. “Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kakek telah pergi untuk mendapatkan berita baru.”
“Aku akan pergi ke pelabuhan bersama ayah. Mereka bilang mereka telah memulai pencarian. Mungkin kita bisa mendapatkan kabar baik di sana. Ridant juga di sana. Perlu ku jemput?”
“Tidak, tidak perlu. Aku bisa sendiri. Sampai jumpa di sana.” Samaira menutup telepon dan bangkit untuk mengambil mantelnya. Langit cerah ketika sopirnya membawanya ke pelabuhan. Sayangnya itu tidak cukup untuk menerangi hatinya.
**
Dua jam setelah badai.
Tidak ada yang tersisa setelah bencana besar itu. Setengah dari kapal sudah terbakar api. Hanya Darshan, Samar, Ruhani dan Mahika yang berhasil selamat. Mereka telah mencapai baling-baling saat badai berlalu. Mereka mendapat banyak luka selama mencoba untuk sampai di sana. Kini mereka menatap laut lepas tanpa bulan di langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Judaiyaan [DITANGGUHKAN]
Science FictionHati-hati dengan apa yang kau inginkan. Bisa saja kau memang menginginkan itu, tapi tunggulah sampai kau dipisahkan dari duniamu sendiri. Empat orang dewasa, dua pasangan, berlatar belakang sama dengan konflik berbeda, dipisahkan dari dunia mereka d...