Mencair

77 15 28
                                    

Rajpal mulai gelisah di kursinya. Menunggu laporan dari ajudannya tidak pernah membuatnya segugup ini. Pena di tangannya mengetuk-ngetuk meja, mewakili debaran jantungnya. Matanya lurus menatap jam di dinding. Empat puluh delapan jam telah berlalu sejak terakhir kali dia menerima kontak dari Samar. Tidak ada lagi kabar darinya sejak itu.

Seorang letnan mengetuk pintu ruangannya dan memberi hormat. Itu ajudannya. Wajahnya mengeras ketika ia melihat sebuah berkas di tangan Sang Letnan.

“Jadi?”

“Tidak ada tanda-tanda kontak dari Mayor Chauhan, Pak. Kami telah mencoba berkali-kali menggunakan radio, satelit, tetapi tidak ada hasil. Gelombang panjang, gelombang sangat panjang, semuanya.” Kata letnan itu.

Rajpal menahan napas sejenak sambil mengepalkan tangannya. “Dan Paman Gurdeep?”

Letnan itu menggelengkan kepalanya. “Nihil. Itu telah berada di luar jangkauan radar.”

“Kabar dari Palang Merah?”

Sang Letnan menggeleng lagi. Rajpal menghela napas panjang lalu memandang ke luar jendela. Matahari bersinar terang di luar sana. Sinarnya menyapu wajahnya yang kalut. Ia tidak banyak bicara karena dia tidak tahu harus berkata apa. Seperti kebanyakan ayah pada umumnya, dia tidak punya banyak cara untuk mengungkapkan perasaan kepada anaknya. Pertemuan mereka yang terakhir tidak berakhir dengan baik. Misi ini cukup penting bagi Angkatan Darat India. Tapi Samar mengira itu adalah hukumannya atas apa yang telah ia lakukan dengan Ruhani. Rajpal masih harus menjelaskan banyak hal, tetapi tampaknya haknya untuk melakukan itu telah dicabut.

“Pak, komando tinggi akan menginisiasi upacara pemakaman secara militer untuk Mayor Chauhan jika dia tidak dapat ditemukan hingga minggu depan. Misi Paman Gurdeep sangat penting bagi satuan kita sehingga mereka berpikir kita perlu memberikan penghormatan terakhir kepadanya.”

“Pencarian baru berjalan selama dua hari tapi mereka sudah memiliki rencana seperti itu?” Ia menoleh pada ajudannya dengan alis tertaut. Wajahnya yang sangar sudah cukup membuat Sang Letnan bergidik ngeri. “Ada yang lain?”

“Mayor Jenderal Trivedi ingin Anda menemuinya di ruangannya, Pak. Dia bilang ini tentang Telbro Code One.”

Ketika mendengar tentang Telbro code one, Rajpal segera bangkit dari tempat duduknya dan menyuruh ajudannya pergi. Dia membalik sebuah album foto di meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah kunci. Itu adalah kunci brankas kecil yang ada di ruangannya, tersimpan di mana bendera India berkibar. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna coklat dari brankas. Dokumen Rahasia tertulis di halaman depannya. Ia membawa berkas itu kepada Jenderal Trivedi. Bagi mereka yang mengetahuinya, berkas itu adalah tangan kiri. Sedangkan Samar dan Paman Gurdeep adalah tangan kanannya. Jika mereka digunakan bersama, itu akan mengangkat sesuatu yang akan meledakkan seluruh Markas Besar Angkatan Darat India.

**

“Lag jaa gale,
Ke phir yeh,
Haseen raat ho na ho...

Shayad phir iss janam mein,
Mulaqaat ho na ho...”

Ruhani membelai rambut Samar dengan lembut sambil menyenandungkan lagu favorit mereka. Alih-alih memainkan lagu-lagu cinta, mereka lebih suka memutar Lag Jaa Gale setiap kali mereka berdansa. Itu mengingatkan mereka pada cinta mereka yang tidak memiliki akhir. Cinta terlarang yang tidak bisa mereka jalani tanpa bayang-bayang dosa dan tanggung jawab besar di pundak mereka. Mereka tahu itu. Mereka sadar bahwa mereka tidak punya alasan untuk membenarkannya. Tapi seperti yang dikatakan oleh lirik lagu itu, shayad phir iss janam mein mulaqaat ho na ho. Kita mungkin tidak akan bertemu lagi di kelahiran ini.

“Humko mili hain aaj yeh,
Ghadiyan naseeb se...

Jee bhar ke dekh lijiye,
Humko qarieb se...

Phir aapke naseeb mein,
Yeh baat ho na ho...

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang