Naluri

63 12 23
                                    

Hujan yang turun di puncak musim panas tampak tidak biasa. Tapi untuk dunia yang satu ini, ada pengecualian. Entah karena cuaca yang tidak menentu atau keadaan iklim yang semakin memburuk jika dibandingkan dengan yang pernah dialami oleh peradaban manusia sebelumnya. Bertahun-tahun telah berlalu bagi dunia ini. Bertahun-tahun dengan begitu banyak fenomena dan perubahan yang terjadi. Hal ini menjadi lebih tak terduga, liar, dan yang terburuk di antara semuanya.

Darshan dan Mahika menghabiskan waktu mereka di dapur, mengupas kentang dan menyiapkan sayuran untuk makan malam. Mereka tidak bisa memasak sungai karena cuaca yang dingin. Samar mengatakan bahwa rumah itu pasti terletak di pegunungan atau dataran tinggi sehingga terasa jauh lebih dingin dari suhu normal. Syukurlah sekarang mereka memiliki tempat untuk berlindung, baju hangat untuk melapisi tubuh, dan makan makanan hangat.

Kondisi Ruhani sudah semakin membaik. Ia tidak lagi merasa mual dan demamnya sudah turun. Ia bahkan mendapatkan napsu makannya kembali. Ia sudah jauh lebih baik sekarang meskipun entah bagaimana ia menjadi lebih lemah dan mudah lelah. Meskipun demikian, dengan kesembuhan Ruhani, Samar dapat mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain, seperti memecahkan kode dari pintu misterius yang Darshan temukan pada hari pertama mereka datang ke rumah itu.

“Persediaan makanan kita sudah mulai habis. Kita harus mulai mencari cara untuk mendapatkan makanan,” kata Mahika kepada Darshan. Darshan mengangguk tanda setuju.

“Aku sudah bicara dengan Samar. Kami akan pikirkan,” jawab Darshan sambil mengupas kentang terakhirnya. Mereka akan membuat kentang tumbuk dengan ham menggunakan microwave karena mereka tidak bisa pergi ke luar untuk memasak. Ia mengarahkan pandangannya pada Samar yang masih sibuk mengutak-atik kode.

“Belum selesai juga, Bapak Mayor?” Panggilnya. Samar menghela napas pendek lalu menjatuhkan peralatannya ke lantai.

“Ah, aku menyerah!” Samar meninggalkan pintu itu dan berjalan menuju dapur untuk menemui Darshan dan Mahika. Ia mencuci tangannya lalu mengambil sekaleng bir dari kulkas.

Mahika terkikik mendengar kata-kata Samar sambil memotong bawang. “Hari ini menyerah, tapi besok kau akan melakukannya lagi.”

“Karena kita tidak punya pilihan,” Samar menggeleng lalu meneguk birnya. “Aku akan pergi memeriksa sungai besok. Jika kita beruntung, kita bisa dapat ikan di sana.”

Darshan langsung menatapnya. Samar terlihat sangat yakin akan hal itu. Tapi jauh di dalam hatinya, dia meragukannya. Ia terus mendapatkan firasat akan datangnya nasib buruk selama beberapa hari terakhir. Ketika mereka tiba di rumah itu, dia memang merasa senang. Tapi setelah menghabiskan beberapa hari di dalamnya, kecurigaannya tentang dunia ini terus meningkat. Samar tidak menyadari hal ini.

“Tidak. Kita tetap di rumah besok," katanya tiba-tiba, membuat Samar dan Mahika menoleh ke arahnya.

“Tidak peduli apapun yang terjadi, kita akan tetap di sini. Persediaan makanan bisa bertahan untuk setidaknya lima hari. Itu waktu yang cukup bagi kita untuk mencari cara lain untuk mendapatkan sumber daya," lanjutnya.

Samar menatapnya dengan bingung. “Berapa banyak bir yang kau minum tadi malam?”

“Saudaraku, dengar,” Darshan meletakkan pisaunya lalu berjalan ke arah Samar. “Aku tahu apa yang kau pikirkan tentang aku. Aku tak punya kemampuan bertahan hidup. Aku tidak tahu apa-apa tentang alam terbuka. Baiklah. Tapi aku tahu kapan bahaya akan datang. Itu akan datang.”

“Atas dasar apa kau mengatakan itu?” Mahika akhirnya bergabung dalam percakapan.

Darshan berhenti sejenak, mengangkat bahunya dan berkata, “Naluri.”

Samar terkekeh mendengar jawabannya. Dia meneguk tetes terakhir birnya lalu membuangnya ke tempat sampah. “Jika aku mengikuti naluriku, kita tidak akan terdampar di sini.”

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang