Kalung

58 14 31
                                    

“Kesepakatan apa yang kau buat dengan ILF? Apa hubunganmu dengan Dokter Karplin? Mengapa kau tahu banyak tentangnya?”

Darshan berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat kepalanya yang terasa berat seperti batu. Vertigonya, seperti biasa, datang di saat yang tidak tepat ketika ia membutuhkan semua kekuatan untuk tetap terjaga dan hidup. Wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena tertutup oleh banyak memar dan bekas luka. Sebuah borgol mengikat kedua tangannya ke belakang, membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain menerima perlakuan kejam dari seorang agen mata-mata India. Ia telah dipukuli secara terus-menerus selama dua jam karena tidak memberikan informasi mengenai kelompok separatis di mana dia bekerja sebelumnya. Darah yang bercampur dengan air liurnya sendiri menggenangi mulutnya yang membuatnya terpaksa meludah. Namun, bukan hanya darah dan air liur yang dimuntahkan, tetapi juga salah satu gigi gerahamnya yang patah.

Sebuah pukulan lain mendarat di rahangnya, menyebabkan rasa sakit luar biasa yang membuatnya kehilangan penglihatan. Segalanya tiba-tiba menjadi kabur. Telinganya mengeluarkan suara berdengung yang memekakkan sehingga membuatnya memejamkan mata untuk menahan sakit. Algojo itu terus melontarkan pertanyaan tetapi yang bisa dia dengar hanyalah suara samar-samar. Kepalanya terasa pusing sekali. Perutnya bergejolak seperti ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Ia ingin mati saja.

“Kami tahu orang-orangmu yang membunuhnya. Seorang yang tidak bersalah. Kau menyebut itu sebuah gerakan? Melawan demi keadilan?”

Ia menyeringai. “Orang yang tidak bersalah tidak akan membunuh bayi dan orang tua.”

Ia hanya diam dan menutup mulutnya selama interogasi berlangsung. Ketika dia menggunakannya di saat yang tepat, kata-katanya menusuk tepat di hati algojo tersebut dan berhasil melukai sebuah gagasan buta yang ia yakini. Tindakan berani itu membuat Darshan harus menerima satu pukulan lagi di wajahnya. Dia menggeram kesakitan, lagi.

“Mengapa dia tidak memberitahu mereka saja?” Beberapa dari kita mungkin akan bertanya demikian. Baginya, itu sama saja. Bahkan jika ia memberi tahu informasi yang mereka inginkan, dia akan tetap mati. Dia sudah tidak diinginkan di dunia ini dan dia tidak ingin menjadi pengkhianat terhadap gagasan yang ia perjuangkan selama ini. Bahkan jika dia harus mati, dia lebih memilih untuk menghembuskan napas terakhirnya dalam keadaan terhormat.

**

Ridant memasuki apartemennya dengan langkah tergesa-gesa. Tangannya yang gemetar menggenggam kalung itu dengan erat sementara matanya mencari-cari ibunya. Wanita itu ada di kamarnya, duduk di dekat jendela dengan sebuah buku tergeletak di atas mejanya. Ridant hanya memandanginya sejenak.

Sejak ia bertemu dengan orang asing itu di tepi sungai Thames, ia tidak bisa melepaskan kalung itu dari pikirannya. Ia sangat ingin tahu tentang sejarahnya. Ia ingin tahu mengapa Mahika memberinya kalung yang sama dengan Birju. Ia yakin ada sesuatu tentang kalung itu yang tidak bisa dijelaskan dengan satu kalimat. Ada sebuah cerita yang tidak ia ketahui, sesuatu yang telah lama disembunyikan oleh kedua orang tuanya.

“Ridant? Kau sudah kembali,” ujar Mallika sambil menutup buku yang sedajg dibacanya.

Melihat senyum di wajah ibunya, Ridant tiba-tiba tersenyum juga. Ia melangkah masuk untuk menghampiri ibunya lalu berlutut di hadapannya. Wanita itu terlihat jauh lebih baik daripada beberapa minggu yang lalu.

“Ma, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan dan aku ingin kau menjawabnya dengan jujur.”

Pertanyaan itu mengejutkan Mallika. Detak jantungnya yang stabil tiba-tiba berhenti selama beberapa detik sebelum akhirnya berdetak dengan cepat. Matanya menatap mata Ridant yang penuh dengan rasa ingin tahu. Dia mulai penasaran.

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang