Sama

60 15 35
                                    

Darshan meninggalkan teman-temanya dengan seringai lebar di bibirnya. Meski tidak mendengar ceritanya, dia masih ingat hari ketika Samar menceritakannya. Setiap kali cerita itu terlintas di benaknya, dia tidak pernah bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Selalu menarik mendengar Samar menceritakannya kembali. Yang membuatnya kaget adalah hal itu terjadi di rumahnya. Ia memang menyadari hilangnya Samar di tengah pesta. Ia pergi untuk mencarinya tetapi tidak dapat menemukannya di mana pun. Dia tidak pernah mengira sahabatnya itu ada toilet dan sedang bercinta dengan Sang pemeran utama wanita. Ia bersyukur tidak ada satu pun media yang mengetahui kisah tersebut, meski mereka mengetahui perselingkuhan mereka dua tahun kemudian melalui seorang sumber yang dekat dengan Ruhani.

Ia menyelinap ke balik pepohonan dan melakukan urusannya di sana. Dia masih bisa mendengar tawa Mahika dan Ruhani dari kejauhan. Mereka pasti sudah mulai mencapai puncak cerita. Ia memutuskan untuk menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dia tidak ingin ketinggalan cerita meskipun sudah pernah mendengarnya sebelumnya.

Ia menutup resleting celananya lalu berbalik menuju teman-temannya kembali ketika seseorang menaruh sesuatu yang dingin di bagian belakang kepalanya. Bunyi pistol yang dikokang membuatnya terkesiap. Dia membeku di tempat, tidak bisa bergerak satu inci pun. Kepalanya mulai berputar. Vertigonya selalu datang pada waktu yang salah dan itu sangat merugikannya.

“Tuan Advani, jangan takut. Aku datang untuk membantu. Tunjukkan saja jalan ke teman-temanmu dan kita akan baik-baik saja.”

Darshan langsung tegang mendengar suara itu. Kedengarannya sangat familiar di telinganya. Dia benar-benar ingin berbalik dan memastikan tebakannya, tetapi dia malah mengurungkan niat itu. Dia tidak ingin orang itu membunuhnya hanya karena dia melakukan tindakan bodoh. Jadi, dia menuruti apa yang dikatakan pria itu. Dia berjalan perlahan menuju tepi sungai tempat tenda mereka berada.

Lima puluh meter sebelum area itu, ia melihat Samar berdiri dalam kegelapan. Samar melihatnya, ia segera mendekatinya tetapi kemudian berhenti ketika orang asing itu menodongkan pistol ke arahnya juga. Ia mengeluarkan senjatanya tetapi sudah terlambat. Dia sekarang berhadapan dengan seorang pria dan pistol di tangannya.

“Siapa kau?” Samar bertanya.

Orang asing itu tiba-tiba berdiri dalam keadaan siap. “Kolonel, aku adalah bagian dari RAW. Aku dikirim untuk mengeluarkanmu dan teman-temanmu dari sini.”

“Aku tidak mengikuti perintah siapa pun di sini. Ini lebih terlihat seperti penculikan daripada penyelamatan. Kau dikirim untuk menyelamatkanku atau membunuhku? Dan aku adalah Mayor, siapa yang menaikkan pangkatku menjadi Kolonel?” Samar kehilangan kendali. Setelah serangan terakhir oleh sekelompok orang asing itu, dia tidak bisa mempercayai orang lain. Dia benar-benar berpikir tidak akan ada yang datang untuk membantu. Setiap kali mereka bertemu orang, mereka hanya ingin mereka mati.

“Samar,” Darshan memanggilnya. “Lakukan saja apa yang dia katakan. Dia pasti akan meledakkan kepalaku jika kau menembakkan peluru ke padanya.”

“Letakkan senjatanya, Pak. Aku jamin semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Makanan, tempat tinggal, selimut, obat-obatan sudah disediakan untukmu,” tambah orang asing itu.

Darshan hanya bisa menunggu jawaban Samar. Mulut pistol di kepalanya membuat napasnya lebih berat dari biasanya. Dia menutup matanya dan mencoba untuk mengurangi detak jantung yang berlomba dengan denyut nadinya. Ia sangat berharap Samar menggunakan 99,99 persen kapasitas otaknya untuk memikirkan nasibnya. Meski tahu itu tidak mudah bagi Samar, dia berharap Sang Mayor cukup waras untuk mengambil keputusan. Untungnya, dia setuju.

Samar menurunkan senjatanya dan menyimpannya kembali. Dia membiarkan orang asing itu mendapatkan kepercayaannya. “Aku bersumpah demi Tuhan, aku akan membuat tanganmu itu tidak bisa mengangkat senjata lagi jika kau macam-macam denganku.”

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang