Keputusan

60 15 15
                                    

Darshan menurunkan jangkar setelah menambatkan sekoci mereka di bibir pantai. Hampir tidak ada penghuni di pulau ini jika dilihat dari garis pantai. Tidak ada tanda-tanda peradaban juga, seolah-olah mereka adalah yang pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu. Terlepas dari beberapa fakta aneh yang mereka temukan di tempat itu, pasir putih dengan air laut biru kehijauan menyambut mereka dengan hangat. Darshan, Samar, Ruhani, dan Mahika menghela napas lega saat menemukan pulau ini. Yah, memang tidak lebih baik dari sekoci mereka, tapi jauh lebih baik daripada terdampar di laut lepas.

“Terlihat seperti Maladewa.” Kata Darshan saat kakinya menyentuh air. Mahika berada di punggungnya, ia menggendongnya dari perahu karena kakinya terluka parah akibat insiden kecelakaan kapal hari itu.

“Tapi yang ini tidak akan seperti liburan para aktor Bollywood di Maladewa.” Ruhani meringis saat bokongnya menyentuh pasir. Kepalanya berputar lagi setelah sebelumnya sudah membaik. Samar memeriksa lukanya dengan cekatan sementara Darshan mengeluhkan punggungnya.

“Duh, punggungku sakit.” Ujar Darshan.

Mahika memelototinya, merasa tersinggung dengan ucapannya.“Aku tidak makan dengan benar selama hampir tiga hari. Berat badanku pasti turun.”

Darshan mengangkat alisnya. “Itu bukan karenamu. Terlalu banyak tidur di atas kursi perahu yang keras membuat punggungku terasa remuk.”

Matahari paling terang di sebuah pulau tropis di suatu tempat di Karibia adalah sesuatu yang pasti tidak akan dilewatkan. Akan berbeda jika mereka datang sebagai turis yang ingin berfoto dengan pohon kelapa atau merendam kaki di atas ombak yang menerjang bibir pantai. Tapi mereka adalah korban dari kecelakaan besar. Itu bukanlah sebuah liburan tropis gratis.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Tanya Ruhani saat Samar selesai merawat lukanya.

“Menerobos hutan, tentu saja. Kita harus mencari bantuan.” Samar memandang Ruhani dan Mahika secara bergantian. Di antara mereka berempat, keduanya terluka paling parah. Ruhani memiliki luka robek di betis kirinya dan pergelangan kaki kanan Mahika terkilir saat berusaha keluar dari puing-puing kapal. Darshan dan Samar sedikit beruntung karena mereka masih bisa bergerak dengan bebas walau terdapat luka di lengan mereka.

“Berarti kita harus meninggalkan mereka di sini. Mahika tidak bisa berjalan dan Ruhani juga tertatih. Kau ingin membawa mereka di punggungmu?” Darshan hampir tidak pernah mengatakan hal-hal yang berguna, tetapi kali ini dia benar. Kondisi Mahika dan Ruhani saat ini akan menghambat perjalanan mereka. Sederet pekerjaan telah menunggu untuk diselesaikan dan mereka harus berada dalam kondisi terbaik untuk melakukannya. Hal ini membuat Samar memikirkan kembali keputusannya untuk menerobos hutan dan menjelajahi pulau tersebut.

“Tapi kita harus menemukan tempat berlindung secepat mungkin. Kita harus bergerak.” Mahika sepertinya tidak setuju dengan rencana penangguhan itu. Akan lebih baik bagi mereka untuk terus bergerak tidak peduli apa yang dipertaruhkan. Ya, dia memang tidak dalam kondisi baik tetapi ia pikir ia bisa menahannya. Pergelangan kakinya sangat sakit, tetapi dia pikir dia bisa mengatasinya selama perjalanan itu membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, tidak terdampar di garis pantai sebuah pulau asing.

Ruhani mengangguk setuju dengan Mahika. Dia secara pribadi tidak ingin menjadi penghalang. Dia pikir dia cukup kuat untuk melakukannya. “Kami bisa menanganinya. Tidak ada gunanya membuang-buang waktu sekarang.”

Samar menghela napas. Petualangan belum dimulai tetapi mereka sudah harus membuat keputusan yang sulit. Meninggalkan Mahika dan Ruhani sendirian tentu bukan pilihan. Tapi membawa mereka juga bukan pilihan yang baik.  Untuk kedua kalinya, dia menghadapi simalakama.

Darshan menoleh ke arah pohon kelapa di belakang mereka. Empat sampai lima butir kelapa menggantung di atas sana dan terlihat sangat lezat. Ia membayangkan betapa segarnya minum air kelapa di hari yang panas ini. Ia sudah lupa kapan terakhir kali dia makan makanan enak sehingga dia rela makan apapun yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Kemudian, sebuah sikutan di lengan menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh dan Samar menatapnya dengan ragu.

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang