Ayahanda

50 14 17
                                    

Birju meninggalkan kafe dengan hati yang patah. Ia sudah muak. Fakta bahwa ia harus merelakan kepergian ibunya dan melihat Samaira memberikan perhatian khusus pada Ridant membuatnya hanya ingin menumpahkan air matanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Samaira dengan sengaja memegang tangan Ridant dan berbicara seolah dia tidak pernah ada di sana. Ia tidak percaya bahwa ia harus kehilangan dua perempuan yang dicintainya di hari yang sama. Baik Samaira maupun Ridant tidak akan mengerti betapa buruknya hubungan mereka menghancurkannya. Tidak ada yang tahu betapa hancurnya dia.

“Terima kasih, Pak Das.”

Birju melangkah keluar dari mobilnya lalu memandangi rumahnya. Rumah berlantai lima itu sebenarnya terlalu besar untuk ditinggali oleh tiga anggota keluarga, sepuluh pembantu, dan tiga sopir. Suasana yang sudah cukup sunyi itu kini semakin diperparah dengan ketiadaan Sang Nyonya rumah. Bagi Birju, itu dulu adalah rumahnya. Dulu. Itu adalah sebuah rumah ketika Mahika masih ada, mengisi setiap ruangan dengan tawanya dan lantunan Mantra Gayatri setiap pagi. Sekarang mereka semua menghilang bersama wanita itu. Jika ada sesuatu yang kurang di rumah ini, itu adalah Mahika.

“Birju! Akhirnya kau pulang. Kemarilah, nak. Pertandingan akan segera dimulai.”

Birju berhenti melangkah. Ayahnya, Piyush, baru saja keluar dari dapur dengan dua kaleng bir dan semangkuk penuh kentang goreng. Ia membawanya ke ruang tamu di mana televisi sedang menayangkan pertandingan kriket antara RCB** dan CSK**. Birju adalah penggemar berat Virat Kohli, berbeda dengan ayahnya yang merupakan penggemar berat Mahendra Singh Dhoni. Ketika Mahika masih ada, mereka akan menonton pertandingan bersama dan bertaruh untuk tim yang akan menang. Pemenang taruhan itu akan dijamu dengan hidangan khas Sang Nyonya, yaitu biryani daging kambing spesial Hyderabad. Karena kini ia tiada, Birju kehilangan selera untuk melakukan apapun.

“Hanya ini yang bisa kau lakukan? Bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa?” Tanya Birju, membuat Piyush mengerutkan keningnya.

"Apa yang kau bicarakan? Ini adalah Kohli-mu. Dia sedang bermain. Ayo duduk bersamaku.”

“Mama hilang, Ayah! Dia sudah pergi! Bagaimana Ayah bisa begitu baik-baik saja sementara dia di luar sana menunggu dengan putus asa untuk mendapatkan bantuan?” Birju menggelengkan kepalanya tak percaya.

Piyush meletakkan remote TV dan berjalan menuju putra satu-satunya itu. Ia mencoba mengusap bahunya untuk menenangkannya, namun ia malah mendapat respons yang tak terduga. Birju menepis tangannya dengan kasar sehingga dia tidak punya pilihan selain tersenyum.

“Kau benar. Dia sudah pergi. Tapi hidup terus berjalan, puttar**. Kau tidak bisa meratapi kepergiannya selamanya. Kita harus terus berjalan. Itu dapat membantu kita mengatasi situasi yang sulit ini.”

Birju salah memahami kata-katanya. Ia tidak dapat menemukan cara yang lebih baik untuk mengatakannya. Apa yang baru saja ia katakan tentang Mahika sangat tidak bisa diterima. Birju tak mau mengakui bahwa ia sudah kehilangan ibunda tercinta. Dia percaya dalam hatinya bahwa Mahika masih hidup. Ini hanyalah masalah waktu sampai mereka bertemu lagi. Satu hal yang belum ia sadari adalah bagaimana waktu bekerja. Ia percaya pada waktu dan masa depan sementara waktu itu sendiri, di zaman ini, lebih fleksibel dan tidak dapat diperkirakan.

“Jika ia benar-benar mati dan dikremasi, mungkin air Sungai Gangga bahkan belum melarutkan abu jenazahnya. Wangi parfumnya masih menyeruak di seluruh ruangan di rumah ini dan Ayah sudah memikirkan bagaimana Ayah akan melupakannya? Istrimu sendiri?” Birju maju selangkah, menatap tajam ayahnya.

“Tidak ada yang masuk akal bagiku. Semua ini. Apakah Ayah benar-benar berpikir itu adalah kecelakaan? Kapal sebesar itu tenggelam begitu saja dalam badai? Tanpa jejak kecelakaan yang tersisa?”

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang