Pertemuan

53 14 19
                                    

“Pemakaman” Samar adalah titik balik bagi semua orang di kota. Tim penyelamat memutuskan untuk menutup kasus hilangnya kapal pesiar itu karena tidak dapat menemukan satupun petunjuk yang berguna selama hampir tiga minggu. Ridant Advani yang menjadi bagian dari tim pencarian merasa kecewa dengan keputusan tersebut. Ia memberi tahu Samaira dan Birju dengan setengah hati bahwa mereka telah menghentikan pencarian. Mereka bertemu di sebuah kafe untuk membicarakan hal ini.

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan ada di tangan mereka. Tapi kami sudah mencoba yang terbaik. Penyelidikan lebih lanjut memang sedang dilakukan oleh tim khusus tapi itu bukan ranahku. Sepertinya akan memakan waktu lebih lama. Ini adalah salah satu bencana kapal pesiar terbesar, tidak akan terpecahkan semudah yang kita kira.”

Birju dan Samaira hanya bisa menghela nafas. Sebuah kue Matcha dan dua roti lapis tuna yang sudah mendingin membuktikan betapa alotnya percakapan mereka.  Samaira tidak bisa merasakan dan memikirkan apapun.  Pikirannya kembali ke hari kemarin ketika ia menghadiri pemakaman palsu ayahnya. Hatinya sakit mengingat bagaimana ia harus memberi hormat pada sebuah peti mati kosong dan menjadi badut untuk berpura-pura betapa ia mengagumi jasad di dalamnya. Tatapan kosong itu kemudian disadari oleh Ridant, tetapi ia memilih untuk membiarkan gadis itu.

Sementara Birju tenggelam dalam dunianya sendiri. Mahika, ibunya, sangat berarti baginya. Ia kini benar-benar menyadari bahwa batinnya lebih melekat pada Sang Ibu ketimbang pada ayahnya, Piyush. Semua yang ia lakukan hanya untuk ibu. Yaa, memang, ayahnya adalah ayah yang paling luar biasa, penasihat terbaik yang pernah dia miliki. Tetapi ia tidak pernah merasa terikat secara batin dengannya. Pada titik tertentu, ia bahkan bisa langsung memihak Mahika jika terpaksa harus memilih di antara orang tuanya. Mahika adalah segalanya baginya. Saat kapal pesiar yang ditumpanginya dinyatakan hilang, ia seperti kehilangan arah hidup, tidak tahu harus melangkah ke mana. Seolah-olah oksigen yang disuguhkan bumi tidak cukup untuk membantunya bernapas.

“Oh, dan satu hal lagi,” Ridant memecah kesunyian. Kafe itu cukup ramai pagi itu, namun tidak cukup untuk menghapus jarak yang menganga di antara ketiga sahabat itu. “Aku akan melanjutkan kuliah di London. Aku akan mengajak ibu juga.”

“Apa? Kau yang benar saja?” Samaira tiba-tiba menatapnya dengan mata terbuka lebar.

Ridant menyesap kopi hitamnya yang dingin dan terkekeh. “Yah, sejauh ini baru rencana. Aku juga belum memberi tahu ibu. Lagi pula, Birju bisa melakukan apa saja yang tidak bisa ku lakukan. Dia akan menjagamu dengan baik. Benar, sobat?”

Birju kembali dari lamunannya setelah Ridant menyenggol lengannya. Dia menatap Samaira dan Ridant secara bergantian dengan wajah bingung. “Aku tidak mendengar apa yang kau katakan.”

Samaira mendecakkan lidahnya dan meraih tangan Ridant. Tindakan sederhana yang membuat Ridant hampir melompat dari tempat duduknya. “Kami masih membutuhkanmu di sini. Kita akan memecahkan misteri ini bersama-sama. Kau, aku, dan Birju. Buang saja rencana itu. Kau tidak akan membutuhkannya.”

Ridant menatap tangannya yang berada di antara tangan Samaira. Sudah lama sekali ia bermimpi melakukan ini suatu hari nanti. “Aku sudah melalui terlalu banyak hal. Aku tidak ingin ibu menjadi lebih parah. Ia akan dirawat dengan lebih baik di sana. Aku tidak bisa diam saja ketika media terus mengejarnya dan menghujaninya dengan pertanyaan yang ia sendiri tidak bisa menjawabnya.”

“Dan kau? Apa yang membuatmu begitu yakin untuk meninggalkan kami di sini? Apa faktor pendorongnya? Ide ini terlalu tiba-tiba dan tidak dapat diterima. India punya 27 negara bagian lain dan 8 wilayah persatuan di luar Maharashtra yang dapat kau pilih untuk membawa Bibi Mallika jauh dari paparazzi. Sekarang apa alasanmu? Lebih baik kau mencari alasan yang bagus sebelum aku sendiri yang mengetahuinya.”

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang