Masa Depan?

58 15 21
                                    

Samar hanya menggelengkan kepalanya ketika Darshan bertanya tentang topi datarnya dan langsung menemui Mahika di dapur. Ia terkejut ketika sampai di sana karena bagian rumah itu juga sudah dilengkapi dengan peralatan. Dapurnya terlihat modern dengan bar mini, teko teh, dan bahkan microwave. Rak-raknya penuh dengan bahan makanan dan makanan ringan. Ia tidak berekspektasi apapun tentang rumah itu. Semuanya tampak seperti tidak nyata baginya.

“Ya Tuhan... Bahkan ada lemari es juga!” Samar berseru sambil melangkah masuk untuk melihat-lihat. Mahika sudah sibuk dengan sebungkus biskuit coklat dan susu yang didapatnya dari dalam lemari es.

“Dan terisi penuh. Aku sedang menghangatkan empat biryani di microwave sebelum listrik padam,” kata Mahika dengan mulut penuh.

“Hah? Tapi bukankah kita tidak diperbolehkan untuk memasak?” Samar berjalan menuju lemari es untuk melihat jumlah persediaan makanan untuk mereka. Memang tidak banyak, tetapi semua yang mereka butuhkan ada di sana. Hal pertama yang menarik perhatiannya ialah dua kerat bir. Ia langsung teringat janjinya pada Darshan saat mereka terdampar di laut.

“Microwave tidak menghasilkan asap. Aku yakin mereka melarang kita memasak karena dapat menimbulkan asap yang bisa menarik perhatian. Oh, ada anggur juga, jika kau ingin tahu. Lihatlah,” Mahika menarik laci meja dapur dan menunjukkan deretan botol anggur. Samar hampir saja terjerembab karena serangan jantung kecil. Ini betul-betul lebih dari yang ia bayangkan!

“Aku dapat lilinnya!” Darshan berlari masuk ke dapur dengan sekotak penuh lilin dan topi datar di kepalanya. Ia menatap Samar dan Mahika dengan bingung sementara keduanya balik menatapnya dengan terkejut.

“Ada apa?”

Samar melambaikan tangannya, memberi isyarat padanya untuk melihatnya sendiri. Ia meletakkan kotak lilin itu lalu menghampiri Samar. Keningnya masih berkerut. Tapi saat Samar menyuruhnya melihat deretan botol anggur itu, rahangnya terbuka selama beberapa detik.

“Ya Tuhan.”

Samar tersenyum lalu menunjuk ke lemari es. “Seperti yang aku janjikan. Ambillah sebanyak yang kau mau.”

Darshan menatap peti bir di dalam lemari es itu seperti sedang menatap pengantinnya di hari pernikahan mereka. Jika ini adalah sebuah film, maka lagu klasik berbahasa Hindi akan diputar di latar belakang dengan gelembung-gelembung beterbangan di sekelilingnya. Senyuman lebar muncul di wajahnya. Senyum yang memuaskan. Ia tahu keputusannya untuk percaya pada pemuda misterius itu adalah keputusan yang benar.

“Ini pesta, Mayor! Pesta!” Darshan memeluk Samar erat-erat dan mereka semua bersorak bersama. Satu bulan terakhir adalah perjalanan yang sangat berat dan melelahkan. Mereka seperti menaiki roller coaster sejak hari pertama kapal mereka tenggelam, mengalami malam-malam penuh kekhawatiran saat tersesat di laut lepas, terdampar di pulau asing, bertemu orang-orang aneh, menyaksikan perang, dengan makanan yang nyaris tidak enak dan suasana hati yang buruk. Setelah menghadapi semua itu akhirnya mereka akan menjalani hari-hari yang baik, indah, dan nyata. Merekalah pemenang sesungguhnya.

TING!

Suara dari microwave membawa Samar kembali ke dunia La La Land-nya. Ia tersentak kaget dan tiba-tiba ingat mengapa dia ada di sana. Ia menatap Mahika. Wanita itu menunjuk rak sebelah kanan. Ada dua kotak di dalam sana, satu untuk pertolongan pertama dan satu lagi untuk obat-obatan. Ia mengambil kotak kedua dan bergegas menuju Ruhani, melupakan biryaninya.

**

Matahari terbenam lebih awal dari biasanya. Seperti yang disebutkan dalam catatan, listrik mulai padam pada pukul lima sore. Darshan telah menyalakan beberapa lilin sebelum hari menjadi gelap. Empat orang yang baru saja menemukan harapan hidup baru itu sedang menyantap biryani saat bulan muncul di langit. Ini adalah pertama kalinya mereka makan makanan enak lagi dan mereka sangat menikmatinya. Darshan dan Mahika memilih makan di dapur sementara Samar merawat Ruhani yang sedang sakit.

Judaiyaan [DITANGGUHKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang