Mahika membuka matanya tiba-tiba saat ia merasakan wajahnya tersentuh oleh sinar matahari. Dengan setengah sadar, ia melihat sekelilingnya dan menemukan Ruhani tidur seperti Putri Salju di sampingnya. Ia belum pulih dari mimpi indahnya, di mana mereka semua masih berada di kapal dan siap berlabuh di Kepulauan Bahama, karena masih bisa merasakan kehangatan menyelimuti hati dan pikirannya. Tetapi ketika ia melihat punggung telanjang Darshan dan garis pantai yang membentang luas, ia menyadari bahwa ia baru saja kembali ke tanah antah berantahnya. Ia hanya bisa menerimanya tanpa memiliki satu kesempatan pun untuk memprotes. Bagaimanapun, ia adalah manusia. Boneka kehidupan.
Ia memutuskan untuk meninggalkan Ruhani sendirian dan menghampiri Darshan. Ia sudah sangat lama mengenal pria itu sehingga ia bisa mengenalinya hanya dengan melihat caranya berdiri. Tegap, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
“Selamat pagi,” ujarnya.
Suara lembutnya membelai telinganya dengan lembut, membuat Darshan terkesiap. Begitu ia menyadari tangan yang melingkari pinggangnya adalah milik Mahika, dia tersenyum. “Agak terlalu pagi untuk bangun, tuan putri. Matahari sudah terbit terlalu tinggi.”
Mahika terkekeh sambil memberikan beberapa kecupan lembut di punggung Darshan. “Kamu tidak bermaksud menggodaku dengan ini, 'kan?”
“Tidak. Tetapi jika kau berpikir begitu, maka itu akan menjadi jawabanku juga.” Darshan mengambil tangan Mahika dari pinggangnya dan menatapnya dengan intens. Ajaibnya, dia merasa aman di matanya. Kecemasan yang ia alami baru saja memudar. Karena alasan ini pula, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan kasih yang menyejukkan hati.
“Hmm? Sepertinya kau akan sangat mencintaiku hari ini.” Mahika tersenyum jahil sementara Darshan terkekeh sambil memamerkan deretan gigi putihnya. Ia segera memundurkan kepalanya ketika Mahika memajukan wajahnya. Wanita itu mengerutkan kening dan cemberut begitu Darshan melihat kembali padanya.
“Bukan untuk konsumsi publik,” Ujar Darshan sambil menyelipkan sehelai rambut yang jatuh ke belakang telinga Mahika.
“Apa maksudmu dengan publik? Tidak ada apa-apa dan tidak ada seorang pun di sini.”
Darshan menunjuk ke tenda mereka dengan dagunya. “Teman sesama singamu sedang tidur di sana dan Samar bisa datang kapan saja.”
“Jangan pedulikan dia, dia sedang tidur. Dan Samar—oh, di mana dia?” Mahika berbalik dan melihat sekeliling. Ia belum melihat Sang Mayor sejak ia terbangun pagi ini. Ia langsung menghampiri Darshan tanpa memikirkan temannya yang lain. Ia mengkhawatirkan Samar yang menghilang begitu saja, karena siapa yang akan memimpin mereka di tanah antah berantah ini jika bukan dia?
Syukurlah, Darshan memberinya jawaban yang berlawanan. “Ia sedang berjalan-jalan, mencoba memetakan area ini. Dia bilang kita harus tahu medan sebelum berperang.”
Jawabannya membuat Mahika menaikkan alisnya. “Lalu mengapa kau tidak ikut dengannya?”
“Ia menyuruhku untuk tetap di sini dan menjaga kalian. Dia bisa menyingkirkan apapun yang menyerangnya tapi tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu padamu dan Ruhi-nya. Lihat, dia bahkan menitipkan senjatanya padaku.” Darshan melihat ke tanah di mana jaketnya tergeletak dan diikuti oleh Mahika. Pistol itu disembunyikan dengan aman di sana.
“Apakah kau tahu cara menggunakannya?” Mahika bertanya sambil melihat kembali ke arah prianya. Darshan hanya mengangkat bahu.
“Arahkan saja ke musuh, tarik pelatuknya lalu bang bang, mereka mati.” Ucapnya dengan tawa khasnya: dengan suara bariton khas pria. “Aku dan Samar pada dasarnya sama. Perbedaannya adalah dia melakukannya dalam perang nyata, sementara aku melakukannya dalam film.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Judaiyaan [DITANGGUHKAN]
Science FictionHati-hati dengan apa yang kau inginkan. Bisa saja kau memang menginginkan itu, tapi tunggulah sampai kau dipisahkan dari duniamu sendiri. Empat orang dewasa, dua pasangan, berlatar belakang sama dengan konflik berbeda, dipisahkan dari dunia mereka d...