Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aluka menjadi putra pertama Keenan yang dapat diajaknya menonton pertandingan voli. Aluka juga putra pertamanya yang senang bermain alat musik sepertinya, bahkan putra keduanya itu sangat mahir bermain beberapa alat musik seperti gitar dan juga piano. Bahkan beberapa kali, Keenan juga mendapati beberapa lembar kertas dengan tulisan acak-acakan berisi lirik lagu dan juga note yang telah ditulis Aluka.
Anaknya itu tumbuh sangat baik. Menjadi laki-laki yang bertanggung jawab penuh untuk dirinya sendiri. Berani mengambil keputusan dan juga tak kenal menyerah. Keenan sendiri juga terkadang heran dari mana Luka mendapatkan energi sebanyak itu sampai-sampai dirinya tak merasa lelah sedikitpun.
Putranya yang ceria, putranya yang baik hati, putranya yang ramah selalu punya cara untuk membuatnya bangga. Keenan senang sekali, namun dia lupa kalau dalam sempurna Aluka anak itu juga menyimpan sedih dan luka. Sendirian. Sebab dirinya selalu merasa takut orang lain ikut sedih akan emosinya yang bahkan tak dia kenali sedikitpun.
"Luka boleh kok marah sama Ayah. Luka boleh sedih dan teriak kalau memang mau, Ayah terima karena memang Ayah salah. Tapi tolong maafin Ayah, ya?" Keenan mengusap lembut rambut berwarna abu-abu milik sang putra. Bulan lalu anak itu mewarnainya dengan warna blonde, sama dengan milik Jevian saat ini. Tentu karena yang mengajak Jevian mengganti warna rambut adalah Aluka. Namun sekarang sudah berubah warna lagi.
Luka membuang pandangannya ke arah lain. Keduanya kini hanya berdua di dalam mobil. Sehabis Luka menelponnya untuk dijemput karena anak itu terlibat kecelakaan, Keenan tak dapat mengontrol pikirannya. Bayang-bayang darah yang mengalir dan tangis Luka tiba-tiba berputar di dalam kepalanya. Membuat laki-laki itu hampir terjatuh di kantornya. Pikirannya menyakiti dirinya sendiri.
Kejadian itu seperti de javu.
Keenan menyesal sebab tak segera mengangkat telepon dari Luka. Laki-laki itu sangat sibuk sejak pagi, pekerjaan-pekerjaan yang tertinggal ketika mereka berlibur harus segera dikerjakannya hari itu juga. Membuatnya mengabaikan panggilan dari Luka yang sudah dibawa ke klinik terdekat.
Untungnya anak itu tak apa, hanya saja luka lecet pada siku juga lututnya yang pasti susah digerakkan. Namun anak itu banyak diam. Putranya itu bahkan tak menanggapi ucapannya sejak tadi. Putranya itu membiarkannya larut dalam kesalahannya. Keenan bingung, Aluka tak biasanya seperti ini, apa luka anak itu terlalu sakit. Atau ekspektasinya akan dirinya yang tak terwujud.
"Sakit ya? Maafin Ayah ya?" Keenan menarik bahu putranya, merengkuh tubuh tegap putra keduanya itu dan mengusap-usap punggung lebarnya. Aluka terisak di sana. Membalas pelukan ayahnya dan menggenggam erat jas rapi milik Keenan
Laki-laki itu menangis. Entah kenapa, Keenan belum tahu alasannya. Namun suami dari Jihan itu masih setia mengelus punggung Luka. Keenan akui kalau anak-anaknya memang cengeng. Bahkan Jaffar si sulung sekalipun. Anak-anaknya tumbuh dengan hati lembut seperti Jihan.
"Sakit Ayah..." ucapnya dengan suara tercekat, Keenan hendak mengurai pelukan mereka namun Luka tak melepaskannya.
"Mana yang sakit, Nak? Kasih tahu Ayah." tanya Keenan lembut.