Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seumur hidupnya yang kini hampir menginjak setengah abad, Keenan memang tak pernah sekalipun membentak bahkan memukul anak-anaknya. Orang-orang pernah bilang betapa disayangkannya dirinya dan juga sang istri yang tak memiliki satu putri 'pun. Sama, Keenan 'pun sama. Dulu sekali, dia pernah kecewa saat tahu seluruh jenis kelamin anaknya adalah seorang laki-laki.
Apalagi saat harapan satu-satunya pada si bungsu harus terputus sebab istrinya kembali akan melahirkan seorang putra. Keenan juga pernah kecewa. Dia bahkan tak pernah melirik istrinya saat kandungan Jihan sudah menginjak umur enam bulan. Saat Jihan sudah hampir melahirkan putra mereka. Satu bulan setelah USG dilaksanakan, Keenan berubah total.
Tentu membuat Jihan bingung karenanya. Dirinya diberi pengertian oleh ayah dan ibunya, namun, ego Keenan memang pernah mengalahkannya. Setiap pulang ke rumah sehabis kerja, Keenan tak pernah lagi mengusap perut buncit Jihan seperti sebelum-sebelumnya. Membuat Jihan merasa sedih dan sedikit tertekan .
Wanita itu bahkan selalu kedapatan termenung sendirian di dapur. Keenan tahu dirinya salah, maka dari itu dia juga terkadang masih menyapa Jihan dan juga jabang bayi mereka, namun memang tak sesering dulu. Sampai suatu hari, di bulan ke tujuh kehamilan Jihan, Keenan mendapat telpon dari putra sulungnya yang waktu itu masih terlalu kecil untuk memproses apa yang sedang terjadi.
Anak sulungnya itu menelpon dirinya dengan tangis yang membuatnya sesak. Dirinya ingat sekali bagaimana tangis Jaffar waktu itu. Dengan samar juga dirinya mendengar rintihan tertahan Jihan di sana. Waktu itu, adalah kali pertama dalam hidup Keenan, laki-laki itu menangis ketakutan. Keenan langsung menelepon sang ibu dan bergegas langsung pulang ke rumah. Meminta sang ibu untuk segera menuju ke rumah sakit sebab Jihan harus mendapatkan pertolongan.
Si kembar tiga memang sudah dititipkan pada sang ibu di saat kehamilan Jihan yang sudah memasuki trimester ketiga. Jadi hanya ada Jihan dan Jaffar di rumah. Waktu itu, mereka memang tidak memiliki asisten rumah tangga. Membuat Keenan memaki dirinya sendiri sepanjang jalan.
Dirinya tak lagi dapat berpikir jernih, apalagi saat tak lagi mendapati Jihan di rumah. Laki-laki itu langsung panik dan menelpon semua orang, beruntung dirinya langsung diberi tahu oleh ibunya bahwa Jihan sudah dibawa ke rumah sakit dan kini sudah ditangani. Ibunya itu meminta agar Keenan dapat tenang terlebih dahulu lalu menyusul mereka ke rumah sakit. Namun mana bisa? Istrinya dalam ambang kematian, maka dengan cepat Keenan kembali membawa mobilnya menuju rumah sakit.
Hal pertama yang didapatinya di sana adalah seluruh keluarganya yang sudah berkumpul. Anak-anaknya berada pada pelukan kakak dan juga ayahnya. Bahkan sang kakak ipar yang baru saja melahirkan enam bulan yang lalu pun turut mengunggu Jihan di sana. Keenan berjalan terseok-seok ke arah ibunya. Wajahnya memerah menahan tangis.
Sang ibu langsung membuka lebar tangannya, memberikan ruang untuk putra bungsunya yang membutuhkan tempat untuk menuangkan rasa sedihnya. Keenan menangis di sana, di pelukan ibunya. Karena sampai kapanpun, Keenan akan menjadi putra bungsu Dirgantara yang cengeng.