05. Boy most wanted
Pagi ini Celina sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat di tubuh rampingnya.
Namun Celina tak kunjung keluar dari kamar. Celina masih belum bisa untuk bertegur sapa dengan Vian yang pastinya juga belum pergi untuk kuliah. Jangankan berteguran berjumpa saja Celina enggan.
Menghela nafasnya sebentar, lalu beranjak dari tempatnya dan membuka pintu kamar.
Entah kebetulan atau memang sengaja Vian menunggu Celina di depan pintu kamarnya. Begitu Celina membuka pintu kamar, langsung berhadapan dengan Vian.
Vian menelisik penampilan Celina, karena Celina saat ini sedang mengenakan pakaian seragam nya lebih ketat dari biasanya.
"Memang pantes Lo di sebut Bitch. Di sekolah Lo juga ada job ya?" Ujar Vian dengan pandangan yang meremehkan.
"Nih uang jajan Lo." Stelah meletakkan selembar kertas uang bewarna biru di meja sebelah Celina berdiri. Vian pergi begitu saja mengendarai motor nya, tanpa mengajak Celina untuk berangkat bersama seperti yang biasanya ketika ada kedua orang tua mereka.
"Abang anjing. Bangsat Lo Vian bajingan."
Celina menyambar selembar uang tersebut dengan kasar, lalu ia pergi sekolah tidak lupa menutup dan mengunci pintu rumah mereka.
Karena ini masih pagi dan jadwal menangis Celina itu malam hari. Ia mengumpat dengan begitu suasana hatinya sedikit membaik.
Celina pergi sekolah dengan menaiki busway yang haltenya tidak jauh dari kompleks perumahan Celina.
***
Ketika Celina baru saja menginjakkan kakinya di area sekolah. Bel tanda masuk berbunyi.
"Aduh kok baru bel sih, kan gue jadi ga telat." ujar Celina sambil membalikkan badannya ke arah gerbang sekolah yang terlihat beberapa murid terlambat termasuk Rey juga terlambat.
Celina memberikan tatapan sedihnya seolah berkata 'sayang maaf ya hari ini aku ga bisa temenin kamu telat.'
Tidak sadar kah Celina saat ini Rey juga menatap ke arahnya. Ralat bukan hanya Rey tetapi seluruh murid lelaki juga menatap ke arah Celina.
Celina membalikkan tubuhnya lalu berjalan santai menuju kelas nya yang terletak di lantai dua.
Saat memasuki kelas, lagi-lagi pandangan murid lelaki yang ada di kelas itu menatap Celina intens.
Celina menelisik penampilannya sendiri, sepertinya tidak ada yang salah. Lalu mengapa selalu ada yang menatap dirinya aneh begini.
Ziva bangkit dari tempat duduknya dan menarik tangan Celina kasar untuk duduk di bangku Celina sendiri. Celina duduk bersama Vanya dan Ziva duduk bersama Reni.
"Cel baju Lo" ujar Ziva dengan geram. Tidak bisakah sehari saja Celina tidak membuat ulah. Ziva pening sendiri melihat tingkah Celina, Ziva begini karena dia peduli pada sahabat nya.
"Ho'oh ini baju waktu kelas sepuluh" begitu santai Celina mengucapkan nya.
"Ketat banget ih Celina, badan Lo jadi keliatan banget" ujar Vanya dengan polos, yang di setujui para sahabatnya.
"Seragam Lo yang biasa di mana Cel?!" ziva angkat bicara lagi sambil meletakkan Cardigan miliknya di atas paha Celina yang terekspos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Beda Agama [end]
Teen FictionTerkadang kita harus merasa sakit, agar kita tahu bagaimana cara bersyukur. Namun bagaimana jika sudah bersyukur pun rasa sakit itu tak kunjung menghilang malah bertambah. Mencintai seseorang dengan sangat namun beda keyakinan. Sudah beda keyakinan...