Episode 2

1.5K 158 11
                                    

Saat itu, aku sedang asik dengan buku-buku yang bertumpuk di atas meja belajar ku. Aku suka membaca buku, beberapa teknik berperang dan beberapa teknik dengan kekuatan yang berkaitan dengan seperti sihir, dan tak mampu di pelajari oleh orang-orang biasa. Aku menguasai itu secara otodidak.

"Keitaro-sama, anda dipanggil Yoko-sama" Ucap seorang pelayan. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu mengucapkan terimakasih. Aku segera merapihkan buku-buku itu, meskipun tak terlalu rapih sih.

Ya, setidaknya sedikit rapih.

Aku berjalan di koridor dengan hakama lengkap dengan kaus kaki, saat itu sedang musim dingin. Aku sangat bahagia, karena di Indonesia tentunya tidak akan pernah musim dingin, hanya ada musim hujan dan musim panas.

Menggeser fusuma secara perlahan, lihat lah, ibuku sedang membuatkan ku sebuah ukiran di tsuba katana ku, ukiran itu nampak terlihat seperti jurus yang sedang aku dalami, jurus yang sering ayah gunakan untuk mengajariku.

"Terimakasih, Haha-ue. Ukirannya sangat indah, sekali lagi, terimakasih Haha-ue" Aku berucap seraya berjalan perlahan lalu duduk di atas zabuton. Ibuku menoleh lalu tersenyum hangat ke arahku.

"Sama-sama anakku, Keitaro-kun. Haha mu ini sudah mulai melemah, sudah renta. Gunakan lah ini dengan katana mu untuk menjaga ku ini, dan tak lupa juga untuk menjaga nama baik klan kita. Jadilah kepala keluarga yang adil dan bijaksana" Ibu memberikan tsuba itu padaku, aku menerimanya dengan penuh rasa hormat dan bahagia.

"Aku tak tau kapan aku akan tiada, mungkin sebentar lagi" Kata-kata lanjutan dari ibu membuatku terkejut, memang benar ibuku sudah tua, tapi ini terlalu berlebihan untukku.

"Haha-ue, aku akan melindungi mu, bahkan dari kematian sekali pun" Aku berucap dengan tangan di dada ku, bersumpah. "Aku bersumpah, akan selalu menjaga Haha-ue se-umur hidupku" Aku berbicara tegas, ibuku hanya terkekeh mendengar nya, lantas ia mengangguk anggun.

"Hahaha, baiklah Nak. Mohon, tepati lah sumpah mu itu, Nak. Dan gunakanlah ini, ini sangat amat berguna" Ibuku menjulurkan tangannya lalu menyentuh pelan katana ku. Aku terdiam, lantas tersenyum dan mengangguk.

Selagi masih punya ibu, aku harus menjaganya, dan memberikannya apapun yang ia mau dan itulah yang terbaik. Aku tak ingin kehilangan ke...entah berapa kalinya.

Aku membungkuk hormat pada ibuku, ibuku juga melakukannya tetapi sedikit terangangkat lalu menaruh telapak tangannya pada kepalaku. Ibu memberiku sebuah doa yang tentunya adalah sebuah doa kebaikan, aku harap aku juga akan menjadi seperti kedua orangtua ku yang baik seperti ini.

Aku melegang pergi, meninggalkan ibuku yang sedang meminum teh di temani beberapa pelayan. Aku pergi ke luar sejenak, pemandangan yang indah, dan sejuk. Bahkan, angin pun sangat bebas bepergian.

Tak terasa, aku sudah semakin bertambah usia, ibuku juga sudah mulai sakit-sakitan. Beberapa pelayan juga sudah berganti, keluarga mereka mengabdi pada keturunan pertama dari klan kami. Oh ya, lagi-lagi aku sedang mencoba untuk mempelajari teknik baru.

Terdapat sebuah karung berisikan pasir, berat nya sekitar 50 kg, dengan sebuah kayu dengan tinggi sekitar 168cm. Aku mulai menebasnya satu persatu, dan beberapa percikan air, api, dan lainnya muncul, sesuai dengan teknik yang sekarang ku pelajari.

Suara tepuk tangan terdengar, membuat ku penasaran. Lantas, aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang kakek-kakek menyaksikan ku tadi. Dia tersenyum ke arah ku, seraya berjalan perlahan dan memegang dinding kayu rumahku.

Aku mendatangi nya, lalu bertanya siapakah ia dan terimakasih telah menyaksikan aku berlatih. Kakek itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, aku sangat penasaran, tapi aku juga tak memaksa kakek itu untuk menjawab.

"Tak perlu tau, Nak. Hanya saja, aku terkagum dengan ilmu katana mu. Aku yakin, suatu hari kamu akan menjadi seorang anggota Kisatsutai yang mahir" Dengan wajah penuh bertanya-tanya, aku memiringkan kepalaku. Apa? Kisatsutai? Organisasi Pemburu Iblis itu,  apakah Iblis masih ada?.

Kakek itu tersenyum padaku, lalu ia melegang pergi meninggalkan tempatnya semula. Aku mengikutinya dari belakang, ia mulai jauh dari halaman belakang rumah. Dia berjalan dengan pelan, bunga sakura menutupi jalan dan pandanganku.

Aku kembali masuk ke dalam halaman lalu membereskan bekas latihan ku. Aku cukup termotivasi untuk semakin giat berlatih dan menjadi kepala klan yang tangguh. Terimakasih kakek, tadi itu sungguh seperti sebuah semangat bagiku.

Bruk
Aku menoleh ke arah asal suara itu, apakah itu seorang yang sedang terjatuh? Aku tak tau. Aku mendekati arah suara itu, lantas melihat seorang pelayan baru dan masih gadis terjatuh serta nampan yang berisikan segelas ocha dan semangkuk Chanwanmushi pun tumpah.

"Eh? Kamu tak apa?" Aku membantunya berdiri,  pelayan itu memegang lenganku untuk berdiri. Lantas, setelah itu dia membungkuk, atau lebih tepatnya seperti bersujud, astaga apa lagi ini. Dia mendongakkan kepalanya menatapku dengan air mata di pipinya.

"Gomennasai, K Kudoo-sama. Saya tidak sengaja menumpahkan makanan anda, saya tadi tersandung lalu terjatuh. L-lalu, nampan tadi jatuh dan isinya tumpah. Sekali lagi Gomennasai Kudoo-sama" Dia nampak ketakutan.
   "Hei, sudah lah. Tidak apa, nanti juga bisa di buat ulang bukan?" Aku mencoba untuk menenangkannya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi aku enggan tidur. Aku masih berkutat dengan buku-buku di meja ku, aku mempunya ambisi yang sangat besar, menjadi kuat untuk melindungi orang yang ku sayang.

Halaman demi halaman ku balik, aku sangat tertarik dengan buku teknik ini. Sangat mudah di pahami, bagiku. Dari cabang pertama hingga seterusnya ada disini, aku harus menyimpan buku ini baik-baik agar tidak di ketahui orang lain. Pusaka keluarga, mungkin bisa dibilang seperti itu.

BRAK
BUM
Suara dentuman terdengar, aku segera mengambil katana ku. Di hadapan ku terdapat seseorang dengan rambut hitam yang pekat, warna matanya berwarna merah, pupil matanya seperti pupil mata kucing, dia tersenyum kepadaku. Lalu, pria itu berjalan perlahan ke arah ku.

Aku berjalan perlahan mundur, siapa yang akan tau jika dia akan menyerang ku. Suara dentuman tadi sangat keras, ah ya! Ibu! Bagaimana dengan Ibu ku! Aghh ini sangat kacau.

"Wah, kau sudah siap dengan katana dan kuda-kuda mu ya, padahal aku ke sini dengan maksud yang baik" Dia berucap dengan kedua tangannya yang terbuka. Aku memiringkan kepalaku, heran sekaligus berwaspada.

"Apa mau mu? Kau bilang kau ke sini dengan baik-baik? Baik-baik apanya, pintu fusuma ku bahkan hancur. Dan lihat lah, taman ke sukaan ku pun hancur. Lalu, apakah kau menyakiti ibu ku, orang asing?" Aku menggeram, muka ku memerah, kesal.

Sedangkan dia, masih saja santai dengan senyuman di wajahnya. Dia tak bersenjata, apakah dia melakukan itu semua dengan tangan kosong.

'Haruskah aku menggunakan jurus berpedang ku' Aku sudah siap dengan tangan kanan berada di ganggang atau pegangan katana yang berada di kiri ku.

KNY X MALE OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang