Chapter 10.
"Jungie, I've been madly in love with you since the first time I knew you existed and lived with me."
Tw// Giving birth/having a baby/all things related to moms and babies.
...
Rasanya?
Dahsyat. Luar biasa. Tidak terukur. Tidak bisa didefinisikan.
Tapi bagi orang yang sudah mengalami hal serupa pasti sepaham bahwa apa yang mereka lewati itu tak akan bisa digantikan dengan apapun kecuali dengan hasil yang susah payah ketika sedang diperjuangkan.
Mungkin seperti itu gambaran ketika dilahirkan namun juga melahirkan dengan saat yang bersamaan. Seolah-olah ditarik menjadi pribadi baru dalam satu waktu dan hitungan tidak terlalu cepat—45 menit sampai napas panjang penuh kelegaan itu berhasil dihembuskan.
Intensitas rasa sakit yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, jauh diluar kendali diri, kemampuan, hingga mungkin itulah gambaran saat ajal datang. Dia sekarat. Benar-benar.
Peluh seukuran biji jagung, rambut basah, samar-samar deru percakapan orang ribut diluar ruangan, perawat yang tetap tenang memberi instruksi kapan dia bisa diam dan kembali mendorong, lalu terakhir— seorang lelaki yang setia ada disamping terlihat pucat dalam kebisuannya. Sama sekali tidak membantu apapun bahkan hanya dengan kata penenang sekali saja karena ia membeku, peran dia ada didalam ruangan ini terlihat dari tangannya yang diandalkan sebagai pegangan saat sakit itu terus tak kenal payah menyerang.
Ini kali pertama untuk dirinya dan juga hitungan pertama untuk lelaki itu juga. Dimaklumi barangkali bukan keputusan yang salah karena orang tidak bisa memaksakan orang lain bagaimana baiknya menentukan sikap saat kejadian itu berlangsung sebagai halnya aktor drama yang akan berlagak di atas panggung— dibelakang para kru masih bisa memberi petuah bagaimana si aktor harus melakukan pekerjaannya, tapi ketika aktor itu sendiri sudah berdiri di atas arena, tak ada yang bisa menahan bila sang pemain justru diam diserang banyak pikiran dan juga ... kegugupan.
Jeritan itu, teriakan, amarah, instruksi untuk bernapas malah lelaki itu dengar seperti perintah kebalikannya bahwa dia tak boleh bernapas normal sebelum puncak ini selesai. Terlebih tangkapan matanya yang tak lepas melihat bagaimana sosok yang selalu diberi manjaan hidup enak itu sampai pada titik paling sakit di mana yang lain tidak bisa menolong selain harus dia yang selesaikan sendiri.
Betul rasanya ini sekarat. Saat itu pandangan mulai mengabur dan tenaga sudah terlalu tipis untuk kembali mendorong, tapi pengertian dan kepercayaan yang digaungkan orang yang berseragam putih didepan membuat dia terpacu untuk terus menurut sampai ia berhasil- sampai ia boleh untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me Before Us; Under the Same Roof [TAEKOOK]✔️
Fanfiction"In the harmony of love, 'Me Before Us' is the sweet refrain where 'Me' finds it's melody in the embrace of 'Us.' Join the enchanting journey of togetherness." *** Nikah muda? Siapa takut! Awalnya Jungkook hanya anak bungsu dari keluarga kecil yang...