Di saat bersamaan ketika peluru ditembakkan di halaman kuil, seorang pria sedang membungkuk di atap sebuah bangunan berlantai sambil memegang senjata api laras panjang yang memiliki peredam di moncongnya.
Seorang pria mengenakan kemeja biru bergambar nanas dengan celana putih. Pria itu masih sangat fokus, dengan peluru pertama yang meleset karena target segera menyadari serangan mendadak dan tanpa suara itu.
Bagaimana bisa seorang Yuu Akuma yang terbiasamenggunakan katana bisa mendengar suara peluru yang melesat ke arahnya darijarak yang lumayan jauh? Yuu Akuma jelas tidak terkenal berbahaya secara cuma-cuma. Bahkan senjata dari barat sekali pun bisa membuatnya menyadari situasi berbahaya dan mengancam nyawa.
Tembakan kedua dilancarkan, dan sialnya para master pedang itu sudah menunjukkan pedang mereka dan menepisnya.
"Kuso!" umpat pria itu.
Dia kembali memompa senjatanya, dan bersiap melancarkan tembakan ketiga. Akan tetapi, sebelum itu terjadi dia merasakan sebuah jarum melesat ke arah tangannya hingga senjatanya jatuh ke genteng.
"Ah! Sial sekali aku!" katanya seraya menoleh ke samping.
Di sampingnya ada seorang gadis cantik berambut merah yang sedang duduk di atap sambil mengayunkan kedua kakinya. Angin bertiup menerbangkan rambut dan roknya. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya.
"Ohayou!" sapanya dengan wajah ceria.
Pria itu mengerutkan dahinya, bergerak cepat sambil meraih senjatanya. Dia memandang gadis di depannya dengan waspada, karena sepenglihatannya, gadis itu berwajah sama dengan perempuan yang ada di kuil bersama Yuu Akuma.
"Siapa kau?" tanyanya.
Gadis itu adalah Noe, dia merengut dengan wajah sedih. "Uhh, kau tidak membalas sapaanku," keluhnya.
Pria itu menodongkan senjatanya pada Noe, tapi Noe masih mengayun-ayunkan kakinya dengan santai sambil memiringkan kepalanya. Dia masih tersenyum manis dan cantik, lalu berubah menjadi senyum liar ketika pria itu menjatuhkan kembali senjata di tangannya.
"Yah, senjatamu jatuh lagi," katanya. "Mau kubantu ambilkan?"
Pria itu menyadari bahwa Noe adalah gadis berbahaya, dan tangannya melemah dalam hitungan detik. Dia tak bisa mengambil senjatanya yang terjatuh, dia bahkan tak bisa lagi mundur karena seluruh tubuhnya melemas dengan cepat.
"Ah, berengsek!" umpat pria itu.
Noe masih menatapnya dengan wajah lugu, kemudian berubah liar. Dia bangun dengan jari telunjuk di dagunya, memandang pria di depannya yang semakin melemas seperti seluruh tubuhnya terbuat dari jeli.
"Hihihi ... Aku meracik racun sendiri, dan kau percobaan pertamaku," katanya seraya mengeluarkan dua buah jarum yang amat tipis berwarna emas. "Dancho akan membunuh dalam hitungan detik setelah jarum ditusukkan, tapi aku tidak suka karena tidak berdarah-darah."
Wajah pria itu berubah pucat, kemudian muntah dengan seluruh tubuh melemas di genteng. Angin berembus kembali menerbangkan rambut dan rok Noe yang sedang berdiri.
Dia memandang pria itu dengan wajah semakin senang, mendekat lalu berjongkok sambil mengeluarkan pisau lipatnya.
"Ah ... musim semi sebentar lagi berakhir. Padahal aku belum melakukan hanami dengan Dancho!"
Hanami: piknik musim semi di bawah pohon sakura
Mulut pria itu mulai mengeluarkan busa, dengan wajah dipenuhi teror dan ketakutan akan kematian yang segera menghampirinya. Dia mungkin tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berakhir ketika dia gagal melakukan tugasnya untuk membunuh Yuu Akuma dan kakeknya.
Sial sekali dia harus bertemu dengan iblis kecil berwajah bidadari seperti Noe!
"Ay, ay ... wajahmu jelek sekali," kata Noe lagi.
Noe mengulurkan pisaunya dan mendaratkannya di kulit wajah pria itu, menusukkan ujungnya lalu menyeretnya hingga darah merembes ketika kulit tersobek. Pria itu mengejang dengan mata melotot, membuka mulut hendak berteriak tapi tenggorokannya seakan tersumbat.
Noe mulai berbinar ketika melihat darah merembes dan mengalir. Dia bahkan memejamkan matanya sambil menghirup bau amis darah yang menusuk hidungnya. Ketika mencium aroma darah, seketika darah di tubuhnya memanas dan bergejolak, bersama dengan gairah yang bangkit.
"Ahh ... aku merindukan Dancho," katanya lagi sambil menyayat-nyayat wajah pria dengan mata terpejam. Ketika dia membuka mata, wajah pria itu sudah berlumuran darah tapi matanya melotot semakin lebar. Dia sangat menikmati setiap sayatan dan setiap aliran darah segar meluncur.
Tes, setetes demi setetes darah menetes di genteng hingga sudah tak ada lagi kulit mulus di wajah pria itu.
"Kuberitahu kau ya, tapi ini rahasia," kata Noe, dia mendekatkan wajahnya pada pria itu. "Haelyn yang merupakan istri Yuu Akuma adalah kembaranku. Aku tidak cemas padanya, aku hanya diperbolehkan membunuh siapa pun yang akan membunuhnya karena Dancho."
Sambil berbicara, Noe kembali membawa pisaunya ke leher dan dada pria itu, menggoresnya disepanjang garis lurus leher ke dada. Darah kembali merembes dan memercik ke genteng.
"Tapi kau jangan bilang pada siapa-siapa, oke," lanjutnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Pria itu sudah tak bisa berbicara dan bergerak, tapi dia juga tak mati. Noe begitu menikmati setiap goresan pisaunya, hingga membuat darah dan gairahnya kian meningkat. Kesenangan dalam dirinya terpicu, karena menyiksa seseorang sebelum kematian mereka sangatlah menyenangkan baginya.
Dia jarang melakukannya, karena Dancho-nya selalu melarangnya, dan kebanyakan yang dia siksa adalah seorang pria.
Beberapa menit berlalu, setelah pria itu berhenti bernapas, seluruh tubuhnya sudah bermandikan darah. Haelyn bangun dengan wajah kesal.
"Baru beberapa menit, dia sudah menyerah," keluhnya.
"Karena kau meracuninya terlebih dahulu." Luck muncul dari arah lain, menginjak genteng hingga terdengar suara gemeretak. "Bagaimana eksperimenmu?"
Noe mengedikkan bahunya. "Lebih seru saat mereka melawan," jawabnya. "Bola matanya jelek, aku tidak suka. Kau buang saja."
"Dasar gadis sialan," gerutu Luck, kemudian mendengkus menatap pria berlumuran di depannya.
🍡🍡🍡
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With Evil Yakuza [END] / (Tersedia di Google Play dan Karyakarsa)
RomantizmSUDAH TAMAT! (Sudah tersedia di Google Play dan Karyakarsa) Dark romance, Adult 20+ Haelyn Brier mengidap Amnesia disosiatif yang membuatnya melupakan penyebab kematian orang tuanya. Terlahir sebagai nona muda yang terbiasa hidup dalam kemewahan, Ha...