Warung es boba ternyata sudah penuh, kami belum beruntung. Lagi-lagi aku menyukai cara Bara menindaklanjuti suatu hal, bahwa ia pandai mengatur situasi. Pembawaanya tenang namun dapat memecahkan masalah. Aku masih ingat kejadian sepuluh menit lalu.
"Kursinya penuh, Ima. Kita mau nunggu atau pindah?"
"Kalau nunggu kira-kira bakalan lama atau gak, ya?"
"Gak bisa ditebak. Kalau mau yang pasti, kita pindah aja langsung."
Aku mengangguk setuju. Jawaban Bara sangat tepat.
Kami hendak beranjak pergi, namun seseorang menghalangi. Tukang parkir yang entah dari mana asalnya, menyetop motor kami sebelum sempat pergi. Lewat tukang parkir, kuketahui satu hal baru tentang Bara. Bahwa ia adalah laki-laki pemberani. Dengan mantap ia menolak permintaan tukang parkir, mengatakan bahwa kami tidak jadi beli di wilayah penguasaannya.
Kalau aku pasti tidak berani dan malas berdebat juga, jadi bakalan aku kasih saja. "Kamu kenapa berani nolak bayar tukang parkir?"
"Karena kita belum mendapat hak, jadi gak ada kewajiban buat bayar, bukan?" alasan yang realistis, memang pantas untuk diterapkan. Aku suka cara berpikir Bara. Atau aku memang sudah menyukai semua tentang dia, ya?
Disinilah kami berakhir, Sweet Boba and Tea. Kami mendapat kursi bagian luar, pemandangan yang tersaji adalah arus lancar jalan raya. Bara sedang pergi memesan, aku mengetuk-ngetuk meja dengan jemari sembari menunggu kehadirannya. Bara kembali dengan bingkisan yang membuat alisku bertaut heran.
Satu bungkus pertama berisi ayam bakar dan nasi. Yang membuatku heran adalah pouch lucu yang ia berikan untukku. Bercorak kaktus hijau sage yang memiliki ekspresi beragam. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Ini apa?"
"Mukenah, untuk Ima."
"Hah?" mataku terbelalak.
"Kurang jelas? Mukenah, untuk Ima yang cantik."
Aku mengedipkan mata berulang kali, seolah tidak yakin dengan apa yang terjadi. "Kenapa ngasih?"
"Kerna mau jadi kekasihnya Ima."
Aku terpaku. Sungguh ini hadiah pertama yang tidak terduga. Aku belum pernah mendapatkannya dari pria lain selama 20 tahun hidup. Salah, sepertinya ini yang kedua karena coklat adalah yang pertama. Secercah kebahagiaan menggelayuti seluruh tubuhku, Bara sungguh-sungguh menyerang seluruh bahasa cintaku.
Baru pertemuan pertama, dia berhasil membuatku terpanah. Hatiku melemah, seolah tidak ada lagi pertahanan yang tersisa untuk menolak kehadirannya masuk dalam hidupku. Aku sungguh merasa jadi tokoh utama dalam sebuah kisah cinta, cerita cinta aku dan Bara.
Mencintai dan dicintai adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Bara, gak perlu repot-repot kaya gini."
"Jangan gak enakkan, aku tulus."
"Tapi, kan,"
"Kalau kamu tolak, aku gak bakal chat kamu selama 4 hari." ancam Bara memotong pembicaraanku. Sebenarnya ini adalah ancaman yang lucu, sama seperti pengancamnya.
Aku tersenyum, "Terima kasih, ya."
"Itu aku yang pilih warna sendiri. Kamu pakai ya, awas kalau gak. Kalau boleh, nanti aku juga mau dikirimin foto kamu pakai mukenahnya."
Aku salting lagi, mengangguk dengan senyum semekar bunga matahari. "Kamu kenapa bisa beli ini? Kamu suka belanja, ya?"
"Bukan," Bara tertawa, "Aku beli sama kakak. Kayak kamu, dia juga punya usaha. Bedanya dia khusus mukenah aja, kalau kamu hampir semua, kan."
"Begitu, aku pasti bakal suka sama mukenahnya."
"Kalau bisa suka sama aku juga, ya, Ima."
Kalau itu tidak perlu diragukan lagi Bara. Hatiku yang kosong sudah terisi untukmu. Kamu berhasil. Pertemuan kita ini sebenarnya gak cocok dinamakan sebagai pengenalan lebih dekat, tapi pendekatan dua tokoh utama untuk saling jatuh cinta.
Waitress datang membawa dua minuman dalam cup berukuran besar, kutebak yang satu rasa coklat yang satunya lagi jeruk nipis karena terdapat potongan buah itu di dalamnya. Bara mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengenakan apron hitam bermotif boba besar tepat ditengahnya.
"Aku pilihin kamu rasa coklat. Biasanya itu kesukaan cewek. Kamu sih, ditanya jawabnya terserah."
"Aku suka, kok. Tapi lebih suka taro."
"Yah, sayang sekali aku salah tebak kali ini. Mau dipesan lagi?"
"Aku memang suka taro. Tapi aku lebih suka gak mubazir."
Bara tersenyum, tampaknya dia menyukai jawabanku. Dia membuka menu ayam bakar kami, nasinya, bahkan cabainya. Dia memperlakukan aku layaknya ratu. Aku terpikat oleh usahanya.
"Kamu kenapa pesan rasa jeruk nipis?"
"Aku suka yang asam-asam. Lagian, yang asam itu bisa buat segar juga. Kalau yang manis-manis, kan aku sudah ada kamu."
Jawaban yang menarik.
Bara mempersilahkan aku makan, katanya ia berharap supaya aku menyukai ayam bakarnya. Yah, tentu saja. Dalam dunia makanan aku hanya mengenal dua hal, makanan enak dan sangat enak. Ayam bakar dari Bara masuk pada kategori sangat-sangat enak, hal yang baru aku temukan, karena aku melahapnya sambil disuguhkan pemandangan cakep. Yaitu wajah Bara.
Disela kenikmatan yang memanjakan lidah, aku mengambil alih topik.
"Nanti kita nonton film apa?"
"Ngeri-Ngeri Sedap."
"Hantu? Iiih, gak mau."
"Bukan, Ina. Jangan nilai sesuatu dari tampilannya aja. Jangan ambil kesimpulan dari judulnya aja, coba searching deh, nanti habis makan."
Ah, dia terlalu pandai menjawab dan menenangkan hatiku yang terlalu parno akan film hantu.
Aku sudah jatuh cinta. Semoga kamu tanggung jawab.
--
See u!
![](https://img.wattpad.com/cover/330210895-288-k565.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desemberhenti
Teen FictionAku dan dia berhenti bersama di bulan Desember. Kupikir cuma berhenti sebentar ternyata kami benar-benar selesai. Akan kuceritakan bagaimana manisnya perjalanan kami sebelum desemberhenti.