Bibirku masih tersenyum menatap buket bunga mawar yang tidak lagi segar, agak layu dan sudah menguning tapi belum seluruhnya. Jujur saja kalau kebahagiaan yang tertoreh semalam masih berbekas, apalagi kalau mengingat cerita Putri tentang perjuangan dia yang mengambil buket dengan jarak yang cukup jauh. Kira-kira satu jam dari rumah, mendengarnya saja aku agak kesal karena Medan bertabur banyak penjual buket tapi Putri justru memesannya ditempat yang butuh perjuangan untuk ditempuh, temanku satu itu tetap saja ceroboh ternyata. Aku juga masih ingat jelas bantahan Putri bahwa dia tidak membelikan coklat untukku.
"Serius, ada coklat?"
"Ngapain aku bohong?"
"Ah, mungkin dari dia!"
"Dia?"
"Bara. Temanku yang kemarin ngantar barangnya!"
Sekali lagi aku tersenyum, membuat Rifa tidak tahan untuk berkomentar.
"Jatuh cinta?"
"Gak, cuma senang aja. Dikit."
Rifa menaikkan bahu acuh tak acuh, "Jatuh cinta memang buat senang. Itu manusiawi, gausa malu deh!" ujarnya lalu beranjak pergi ke sekolah, dia harus cepat supaya tidak terlambat. Kami berdua tidak pernah ingin mendapat surat panggilan orang tua, terlalu merepotkan untuk Ibu yang hidupnya berjuang sendirian karena tidak ada rekan untuk berbagi. Kalau tidak bisa membantu, setidaknya kami dapat mengurangi beban.
Hari ini aku masuk kelas siang, jadi sebelum berangkat kampus membereskan rumah dulu. Aku melanjutkan menata meja rias yang sekaligus meja belajar buat kami. Bunga pemberian Putri aku masukkan dalam plastik, kemudian kusimpan di atas lemari. Meja kami terlalu mini untuk meletakkan saja bunganya sebagai hiasan meja, buku aku dan Rifa sudah terlalu padat memenuhi bersama dengan rias wajah yang ada beberapa buah.
Notif ponsel di atas kasur membuat pekerjaanku kembali terjeda.
"Maaf baru balas. Suasana hatiku tidak baik semalam, jadi tidur lebih cepat. Sama-sama, semoga kamu senang. Tidak perlu minta maaf, aku tidak merasa direpotkan. Kalaupun iya, semua salahnya Putri."
Ternyata dari Bara. Putri memintaku untuk mengiriminya pesan maaf dan terima kasih. Sejujurnya memang salahnya Putri, hanya saja dia mencari kemudahan supaya tidak merasa bersalah sendirian. Aku menurutinya karena suasana hatiku sedang senang. Lagian minta maaf tidak membuat diri kita menjadi rendah, justru menunjukkan nilai kemanusiaan yang bermartabat. Maaf, tolong, dan terima kasih adalah kata ajaib. Sejak memulai pendidikan sudah dikenalkan, namun tidak semua orang dapat menerapkannya. Padahal ketiga kata ajaib itu dapat membuahkan karakter manusia yang lebih tau diri.
"Lagi galau?" balasku melanjutkan alasannya lama membalas pesan.
"Sedikit, aku suka sama cewek aneh soalnya. Jahat, tapi gimana akunya sayang."
"Cinta emang buta, banyak cewek normal tapi kamu jatuh cintanya malah sama yang aneh."
"Kalau cinta buta, kamu suka aku gak?"
"Hah?"
"Buta menurut bahasa gak bisa melihatkan, jadi bisa gak kamu suka sama aku tanpa harus basa-basi?"
"Cinta memang buta, tapi diiringi perasaan."
"Emang pernah jatuh cinta?"
"Setiap manusia pasti pernah jatuh cinta. Tapi bagian cintanya aku selalu dapat yang bertepuk sebelah tangan!"
"Ternyata kita dua manusia yang lagi patah hati. Kenapa ketemunya baru sekarang, ya?"
"Rahasia semesta?"
Aku menghela napas, percakapan kami ternyata sudah cukup panjang. Aku kembali melanjutkan pekerjaan setelah melepas satu pertanyaan rahasia yang aku dan dia tidak tau apa jawabannya. Semesta yang menyimpannya.
--
See u!

KAMU SEDANG MEMBACA
Desemberhenti
Teen FictionAku dan dia berhenti bersama di bulan Desember. Kupikir cuma berhenti sebentar ternyata kami benar-benar selesai. Akan kuceritakan bagaimana manisnya perjalanan kami sebelum desemberhenti.