Pacar?

17 1 0
                                    

Mataku tidak bisa terpejam padahal lampu kamar sudah padam satu setengah jam yang lalu. Kupandang kesebelah, Rifa meringkuk selayaknya bulan sabit. Selimut yang sebelumnya menutup hampir seluruh badannya, kini menyingsing nyaris jatuh dari kasur. Kulirik kipas angin yang sudah bertahan selama tiga tahun, putarannya tidak lagi gagah namun masih menghasilkan angin sepoi menjelma sejuk. Diluar, pasti sepi. Sudah tengah malam lebih, waktunya orang-orang bumi mengistirahatkan badan dari penat. Meskipun beberapa masih berkegiatan, terkhusus manusia-manusia yang bergeraknya memang menunggu malam tiba. Aku memanggilnya sijahat dan gila, mereka adalah orang-orang yang bisanya merugikan orang lain. Tidak manusiawi, akal pikirannya nyaris hilang dimalam hari sedang siang tidak sadarkan diri.

Aku bertanya-tanya, apakah Bara sudah tidur? atau apakah dia juga tidak bisa tidur sepertiku?

 Teringat olehku keseriusan wajahnya tatkala bertanya "Kamu mau jadi pacarku, Ima?"

Waktu itu, aku hanya berani memandang sebentar wajahnya. Lalu tatapanku jatuh pada bakso besar dalam mangkuknya. Sungguh, aku senang dan mau. Namun aku adalah wanita yang penuh banyak pikiran. Aku tidak bisa berjalan mengikuti alur, ketika mengambil keputusan kepalaku selalu mengukir pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan terjadi di masa depan. Maka, pertanyaan Bara kujawab dengan, "Cewek anehmu, bagaimana? Jangan mulai hubungan kalau belum selesai dengan masa lalu."

Aku tau Bara kecewa dengan jawabanku. Keseriusan dimatanya belum pudar, karena aku tau dia adalah laki-laki yang tegas dalam mengambil keputusan. Tapi sayangnya, aku tidak tau bagaimana isi perasaannya. Apakah hanya ada aku, atau masih ada bayang-bayang masa lalu. Aku masih ingat, bagaimana pertama kali kami mulai chatan. Bahwa Ia berkata, perasaan hatinya menjadi tidak baik karena cewek aneh si masa lalu. 

Apakah dengan hadirnya aku dapat memperbaiki isi hatinya? Apakah dengan semudah itu? Apakah ia dapat dengan cepat berpindah hati padahal sebelum-sebelumnya menggalaui si cewek aneh? Atau aku hanya dijadikan batu lompatan untuk melupakan si cewek aneh? Apakah Ia benar-benar mencintaiku setulus aku mencintainya? Atau aku hanya orang baru yang dijadikan percobaan untuk melepas yang lalu?

Begitulah isi pikiranku yang rumit. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang kubuat sendiri. Padahal hanya dengan menjawab iya, maka dia sudah menjadi milikku. 

Namun beginilah aku. Aku tidak ingin memilikinya hanya dalam status. Aku juga ingin merampas seluruh perasaannya. Aku ingin dia menjadi milikku seutuhnya. Aku ingin Bara membuatku yakin, namun jawabannya cukup menempatkan aku dalam situasi bingung. 

"Sekarang aku bersamamu, Ima." 

"Perasaanmu, Bar. Masih ada untuk si cewek aneh, bukan?"

"Kalau aku sudah berani nembak kamu, berarti aku sudah siap menjalin hubungan yang baru."

Padahal aku hanya butuh jawaban, "Tidak, perasaanku untuknya sudah habis."  Namun kenyataanya Bara tidak berani mengatakan dengan lantang. Karena mengajak wanita pacaran tidak hanya membutuhkan keberanian, tapi juga kesiapan. Apakah Bara benar-benar sudah siap menyelesaikan perasaannya untuk si cewek aneh? 

"Kamu gak harus jawab sekarang, Ima. Aku mau tunggu sampai kamu siap. Sekarang, mie ayamnya dimakan. Keburu dingin, nanti nikmatnya jadi berkurang."

Aku tersenyum sembari mengangguk kecil. Aku tidak lagi membahas pembicaraan kami. Namun kepalaku masih memikirkannya. Sampai aku tidak bisa tidur begini.

Kuputuskan untuk menyibakkan selimut, melepas tubuh dari satuan bulu-bulu hangat itu. Berjalan menuju dapur untuk sekedar minum air putih. Berharap segelas air dapat melarutkan pertanyaan-pertanyaan yang bersangkar di kepala sehingga dapat memberi lega. 

Namun bukannya sesuai dengan keinginan, aku justru harus berhadapan dengan Ayah yang baru pulang. Ayah masih pegang kunci rumah, juga masih pulang larut malam ternyata. Ingatanku masih kuat tentang bagaimana perjalanan menemani Ibu menduplikat kunci rumah supaya tidak repot-repot bangun dimalam hari hanya untuk membukakan pintu. Waktu itu, kami belum punya motor. Aku masih duduk dibangku madrasah tsanawiyah. Aku dan Ibu berjalan kaki nyaris satu kilometer ke pasar demi menghemat biaya. 

Sampai di tukang kunci kami menunggu cukup lama, karena Ibu minta kunci duplikatnya langsung selesai. Waktu itu aku tau Ibu lapar, bunyi perutnya melintas ditelinga walau samar. Ibu tidak sempat makan karena takut tukang kunci tutup disore hari, jadi kami langsung meluncur ketika Ibu baru pulang kerja. Untungnya, aku belum ganti seragam olahraga sekolah dan ada cukup uang disaku. Dari dulu, aku senang menyisihkan uang jajan. Aku tidak langsung menghabiskan karena Ibu juga rutin membuat bekal untuk kami. Kalau-kalau ada kebutuhan membeli keperluan sekolah dan uangku cukup, aku lebih senang pakai uang simpanan ketimbang menengadahkan tangan untuk meminta lagi pada Ibu. 

Aku izin pergi sebentar, kataku ingin beli jajan tapi berbelok kewarung sate. Aku kembali dengan dua bungkus sate padang. Satu isinya lontong semua, karena aku tau Ibu lebih suka lontongnya, sedang untukku lontong dengan lima tusuk sate. Ibu tersenyum, senyum yang amat tulus dengan mata penuh syukur. Kami makan dengan khusyuk, untungnya Ibu membawa sebotol air mineral dalam tasnya. Setelah itu kami pulang naik angkutan umum karena hujan datang mengguyur. 

"Kok belum tidur?" tanya Ayah kepadaku, tercium aroma rokok dari napasnya. Untung tidak mabuk. Kalau iya, aku bakal meninggalkannya tanpa sepatah katapun tidak peduli bahwa pertanyaan dari orang tua harus dijawab, karena mengabaikan orang tua adalah dosa. Namun orang tua yang mabuk depan anaknya juga berdosa. 

"Sudah, tapi kebangun." kataku bohong, aku hanya tidak mau percakapan kami jadi lebih panjang saja. 

"Teman laki-lakimu kemarin sudah nembak?"

Aku tertegun mendengarnya, sudah sejauh itukah percakapan Ayah dan Bara, "Kami masih menjadi teman."

Ayah mengangguk, tatapannya tajam memanah bola mataku. "Kalau jatuh cinta, jangan sangat mencintai. Semua laki-laki sama saja."

Aku tesenyum kecil, "Semoga Bara tidak sama seperti Ayah."

Alangkah diluar dugaan, Ayah turut membalas senyumku, bahkan jauh lebih lebar. Kemudian dia beranjak masuk kamar setelah mengatakan, "Semoga."

Pikiranku jadi lebih sibuk setelahnya.





--


See u!

DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang