Bagian Perjuangan

19 2 0
                                    

Pukul 5 sore kurang kelas menulisku sudah selesai. Jika mengikuti jadwal seharusnya berakhir tepat pukul 6 sore, namun begitulah cara manusia mencurangi waktu. Di dunia ini tidak ada yang pas ukuran, kadang kurang sesekali lebih, semua saling bekerja sama mencari cela untuk memenuhi keinginan. Tidak ada yang mau dirugikan, sehingga perkelahian waktu menjadi teramat sering didiskusikan apalagi jika menyangkut soal pertemuan. Padahal waktu tidak kemana-kemana, ia akan menetap pada titik kepastian. Manusia tidak perlu mengejar waktu, namun mengatur hidupnya supaya bertepatan dengan waktu.  

Aku tidak langsung pulang. Jalan raya pasti akan terlalu padat, aku tidak suka berdesakkan menunggu kesempatan untuk bisa jalan sambil menghirup sisa kotoran kendaraan yang diiringi sahut-sahutan klakson. Bagiku begitu meresahkan. Kuputuskan untuk menunggu di taman fakultas, tentu saja sambil membaca novel. Aku pandai mencari kebahagian dengan cara sederhana. Jika ditawarkan sebenarnya tentu saja lebih menggoda yang mewah-mewah, misalnya dengan makan mie ayam depan pintu satu atau nongkrong di kafe yang menyediakan fasilitas wifi. Tapi danaku tidak cukup untuk itu, aku harus mengatur keuangan dengan sebaik mungkin. Sebenarnya aku bukan pandai bahagia dengan cara sederhana, lebih kepada tau diri saja. 

Baru saja mengeluarkan novel dari ransel biru tua yang menemani perjalananku semenjak semester satu, ponselku berdering. Putri memanggil. Suaranya menggelegar memanggil namaku diujung telepon, agak cempreng dan nyaris merusak indera pendengaran. Aku sedikit menjauhkan ponsel karena tidak mau operasi telinga. 

"Del, pesanmu itu beneran?!!!" tanyanya sekali lagi, dengan nada yang sudah agak rendah namun masih disertai hentakkan. 

Aku mengangguk.

"Delima jawab dong!"

Aku tersenyum. Tampak kelihatan bodoh. Jelas-jelas mengangguk tidak dapat merespon pertanyaan seseorang dalam panggilan. Kekonyolan yang patut diacuhkan jari jempol kearah bawah. "Iya, put."

"Wah, gila!!!" 

Nada Putri kembali meninggi, jawabanku agaknya dapat membuat energinya berpacu lebih ekstra. Putri pasti kaget dan mengira aku mengada-ngada, sejujurnya aku juga kurang percaya dengan semua yang terjadi. Aku kembali mengingat pesan chat bersama Bara sebelum berangkat ke kampus. Senyumku agak melengkung mengingatnya. 

"Ima pernah jalan sama cowok, ga?"

"Berdua?"

"Kalau ramai, nanti dikira mau tauran di bioskop."

"Hahahaha... Belum." 

"Aku mau ngajak."

"Jalan?"

"Jalan sekaligus saling mengenal lebih dalam."

Aku balas tertawa. Bukankah rasanya terlalu cepat? Namun tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bumi punya banyak keajaiban cerita yang disimpan dalam setiap belahan permukaanya. Seperti misalnya jatuh cinta pandangan pertama, cinta karena nyaman, cinta rahasia, cinta dari benci, cinta beda agama, cinta LDR, cinta dalam diam, cinta mati, cinta segitiga, cinta ditolak dukun bertindak, juga cinta-cinta lainnya. Mungkin perjalanan kami masuk dalam cinta yang pertama aku sebutkan. Aku kepedean. 

"Aku serius." 

"Aku pikir-pikir dulu, deh."

"Aku berharap jawabannya iya. Soalnya chat ini bagian dari perjuangan."

Setelah percakapan singkat yang sedikit mendetakkan jantungku, aku langsung segera kabarin Putri. Bukan untuk pamer karena setelah sekian lama hidup, akhirnya seseorang mencintaiku duluan. Namun lebih kepada meminta saran, bagaimana aku harus menanggapinya? Apakah jawaban iya atau tidak yang harus kuberikan? Sesungguhnya aku agak khawatir jika benar-benar akan pergi bersama Bara, aku tidak punya pengalaman yang bisa dijadikan sebagai panduan ngedate. Ah, rasanya terlalu kejauhan. Bara mengajakku untuk saling mengenal, bukan ngedate. Aku terlalu dalam memposisikan diri seolah-olah berperan sebagai tokoh utama dalam cerita cinta. 

"Sekarang kamu nya mau atau gak?"

"Gatau. Makanya minta saran."

Putri menghela, agaknya ia juga bingung memberi tanggapan. "Mau sama dia?"

"Memangnya kalau diajak jalan begitu, tandanya dia bakal nembak aku?"

Putri tertawa kecil, "Ya, engga sih! Masih tahap perkenalan dulu, kayak yang dia bilang."

"Jadi terima atau gak nih?"

"Coba dulu."

Aku tersenyum. Ada getaran senang yang tidak bisa kujelaskan. Kupandang judul novel yang berada dalam pangkuan. "Kata" Karya Rintik Sedu. Akankah aku menjadi Binta, tokoh utama yang dicintai dan diperjuangkan hatinya oleh Nug? Jika iya, maka Bara adalah Nug untukku. Jujur saja, aku tidak pernah merasa dicintai. Aku selalu menaruh hati duluan, yang kemudian perasaanku tidak mendapat balas lalu perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Aku tidak pernah menjadi tokoh utama dalam sebuah perjalanan cinta seseorang. Putri memintaku untuk mencobanya dahulu, seolah-olah ia ikut turut serta menjadi tokoh pendukung yang merencanakan perjalanan cinta tokoh utama.

"Bara, kapan kita ketemu?" tanyaku mengambil keputusan mengiriminya pesan, yang langsung mendapat tanda ceklis dua biru. Seolah-olah ia memang sudah menunggu. 

"Besok aku off. Jamnya kamu yang atur, aku siap kapan aja kamu mau."

Aku tersenyum kecil. Aku benar-benar menjadi tokoh utama ternyata. Buktinya Bara menyerahkan waktunya untukku. Kapan saja katanya. Putri harus tau kabar menyenangkan ini. 






--



See u!



DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang