Ayah

19 1 0
                                    

Aku dan Rifa mengantar kepergiaan ibu dengan lampiran doa, meminta agar ibu selamat sampai tujuan dan pulang dengan keadaan sehat. Semoga pekerjaan yang ibu usahakan meski dalam kondisi yang semakin menua menjadi rezeki yang diridhai oleh Allah sebagai bekal perjalanan hidup kami, sebab bila sedikit namun halal maka akan menjadi berkah. Aku masih terngiang akan cerianya wajah ibu ketika kuberikan mukenah dari Bara sebagai teman perjalanan supaya tetap dekat dengan Sang pencipta langit dan bumi, lengkung senyumnya tetap indah dipandang meski sudah lebih banyak terdapat kerutan. 

Aku menceritakannya kepada Bara. Dia turut senang namun sedikit menggerutu, "Padahal aku mau lihat kamu foto pakai mukenah itu."  Aku menyampaikan permintaan maaf, tapi katanya dia tidak marah. Dia akan menunggu ibu pulang sambil mendoakan, "Semoga ibu Ima yang kelak menjadi ibuku sehat dan kuat selalu."

Senyumku mekar. Agaknya Rifa menyadari kegilaanku karena cinta. Berulang kali aku mendengar uluran napasnya yang panjang, sambil membolak-balik buku matematika yang juga turut membuatnya semakin kesal. Kepergian ibu membawa perubahan karena suasana jadi lebih sepi. Malam ini kami hanya berdua saja di kamar, biasanya akan ada suara televisi karena cuman itu satu-satunya hal yang menjadi hiburan ibu melepas penat. Tidak ada ibu, tv tidak hidup. 

Rifa berdiri dari singgasana tempatnya belajar, rambutnya tidak lagi tertata dengan rapi. Dibiarkan berantakan dan megar urak-urakkan, bahkan kuncirnya yang hampir lolos dihiraukannya. "Aku mau buat teh manis dingin. Mau nitip gak?"

Wow. Aku agak terkejut. Kejadian langka yang pantas diabadikan. Aku mengangguk antusias tidak mau kehilangan kesempatan. Tidak mau bertanya ada angin apa? karena bisa saja singa betina itu kesal lalu menarik mentah-mentah tawarannya tanpa negosiasi. 

Kepergian Rifa menyisakan senyap yang lima detik berikutnya disusul oleh suara ketukan pintu. Sosok Bara berhasil membuatku mematung sejenak. Kuperhatikan wajahnya yang tetap tampan walau agak lesu, sepertinya dia baru pulang kerja karena tubuhnya terbalut seragam kerja berwarna orange lengkap dengan celana hitam keper panjang dan sepatu safety hitam mengkilap. 

"Bara? Kenapa datang?"

Bara mengayunkan bungkusan ditangan kanannya, "Cuma mau ngantar ini," dia tersenyum "Ayam bakar buat Ima."

"Kenapa repot-repot?"

"Gak repot, kok, Ima."

"Kenapa gak bilang-bilang?"

"Suka banget sama kata kenapa, padahal ada kata lain yang lebih bagus."

"Apa?"

"Cinta. Kalau dirangkai kira-kira jadinya seperti ini, Bara cinta Ima. Bagus, bukan?"

Aku tersipu. 

"Lebih bagus lagi kalau dibalas Ima kayak gini, Ima juga cinta Bara."

Tapi aku belum siap membalasnya, Bar. 

"Kamu salah. Kata kenapa juga bagus, dan malahan penting. Kita hidup dalam sebuah pertanyaan. Setiap waktu. Selalu ada tanya yang membutuhkan jawab. Bohong jika tidak, tanya yang gak mendapat jawab hanya membuat manusia berada dalam kebingungan dan rasa penasaran. Selayaknya kata cinta, ada pertanyaan kenapa didalamnya."

"Kamu masih meragukan aku, ya, Ima? Kenapa aku mencintaimu, kan?"

"Aku tidak bilang begitu."

"Sekalipun jawabannya tidak, aku tetap akan berusaha membuatmu yakin."

Ah, Bara. Manusia ini pandai sekali berbicara. "Mau masuk dulu?"

"Lain kali aja, aku mau pulang. Mau mandi, udah asem soalnya." 

"Yasudah kalau begitu, terima kasih, ya."

"Sama-sama Ima. Salam buat ayah. Salam sama ibunya nanti aja, kan, lagi gak di rumah."

Aku hanya sedikit tersenyum. Sedikit sekali sehingga Bara tidak akan bisa lihat jika tidak memperhatikan dengan baik. Ada sedikit marah dengan diri sendiri karena belum juga dapat menerima keadaan. Tapi kemarahaan itu justru lebih terbakar akan perasaan kecewa terhadap perlakuan ayah, selalu saja begitu. Sehingga aku tidak mampu menyembunyikan ketidaksukaan terhadap topik bertema "ayah". 

Aku tidak pandai mengontrol diri sebagaimana ayah tidak pandai bertanggung jawab sebagaimana semestinya. 






--



 See u!

DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang