Sudah 3 hari aku mendiamkan Bara. Pada waktu-waktu begini aku sungguh merindukan Ibu. Setiap malam selepas Isya, aku dan Rifa akan melakukan panggilan vidio (Ibu meminjam ponsel teman kerjanya), menyita sedikit waktu Ibu untuk memastikan bahwa pahlawan hidup kami itu masih sehat dan kuat. Serta tentu saja untuk melepas rindu dengan saling bertukar cerita tentang kegiatan yang kami jalankan. Rifa akan menceritakan tentang guru matematika yang tetap datang meskipun hujan deras menyambut pagi, tentang guru sejarah yang bukannya menceritakan mengenai perjalanan Indonesia menuju merdeka justru tentang lika-liku perjuangannya menaklukan hati sang istri, dan guru agama yang mewajibkan seluruh murid setor satu surah Al-Qur'an dalam jus 30 setiap pertemuan (dengan bangga Rifa menjelaskan bahwa ia sudah berhasil mengahafal 29 surah, namun diakhir ia menggurutu karena sisa 8 surah yang cukup panjang untuk rutin dihafalkannya selepas subuh. Ibu menanamkan ilmu agama sejak kami pandai membaca, memasukkan kami ke tempat pengajian selepas ashar yang kemudian berhenti setelah smpnya ditempatkan pada Madrasah Tsanawiyah).
Mendengar keluhan Rifa, Ibu tertawa lalu memberi semangat. "Semangat, sayang. Kelak lelahmu akan dibalas dengan cita yang tercapai." Kemudian Rifa tersenyum mengaminkan dan membuat jarinya berbentuk love mini sebagai tanda cinta untuk Ibu.
Ibu sendiri menceritakan tentang pekerjaan mereka yang lancar, aku dan Rifa turut senang dan tenang mendengarnya. Hanya saja dihari kedua mereka terkendala cuaca, hujan yang tiba-tiba hadir tanpa diundang membuat tanah menjadi licin. Teman Ibu yang membawa ember berisi ayam baru dicuci tergelincir. Ayamnya terpaksa dimandikan lagi karena tanah membuat sekumpulan tubuh ayam yang sudah tercincang itu kembali kotor. Untungnya teman Ibu yang jatuh tidak terkena luka cedera, hanya sedikit encok pinggang yang besoknya hilang setelah ditambal salonpas cabai. Kata ibu, yang membuat pekerjaan mereka jadi lebih menyenangkan adalah ketika tuan rumah acara menyukai hasil masakan mereka, bahkan kerap memuji sehingga tim Ibu jadi lebih semangat dalam menyelesaikan misi. Yakni mesukseskan acara dengan sajian makanan yang lezat.
"Karena pekerjaan yang menyenangkan adalah yang hasilnya sukses dan disenangi banyak orang."
Terakhir giliran aku mendapat jatah untuk bercerita. Yang membuat lidahku keluh harus mulai cerita dari mana, atau apakah lebih baik disimpan sendirian. Namun bukan Rifa namanya kalau tidak cerewet mendesakku untuk segera bicara. Aku mengaku bahwa kuliahku berjalan baik, hanya tugas-tugasnya saja yang kurang baik karena terlampau banyak, namun masih bisa kuatasi. Permasalahannya ada pada Bara.
"Kalian bertengkar?" bukannya Ibu, tapi Rifa yang beri tanggapan padahal berharapnya Ibu yang memberi respon.
"Iya. Sudah 3 hari aku mendiamkannya. Pesannya tidak kubalas, dan panggilan teleponnya kuabaikan."
"Hubungan yang lemah. Padahal baru-baru saja kalian antar pesanan bareng-bareng."
Aku terdiam. "Sebenarnya hubungan kami yang lemah atau egoku yang terlampau kuat?"
"Masalahnya apa Rifa?" tanya Ibu akhirnya ikut nimbrung.
Aku menceritakan dari awal. Pelan-pelan tanpa terlewat sedikitpun. Kuceritakan kembali tentang Ayah yang tiba-tiba pulang, Ibu sudah mendengar cerita ini karena kami langsung mengadu. Jelas kami membutuhkan nasihat tentang apa yang harusnya aku dan Rifa lakukan menyambut kepulangan Ayah. Sebagaimana permintaan Ibu, kami menerima Ayah dengan baik walaupun sejujurnya enggan. Kami makan bersama, sedikit bercerita, dan membuatkan kopi atau teh manis ketika Ayah meminta. Kami tidak menunjukkan ungkapan kebencian, sebaliknya kami justru memperlakukan Ayah sebagaimana tugas seorang anak, meskipun Ayah tidak menjalankan kewajibannya sebagai orang tua dengan semestinya. Aku tidak banyak bercerita, hanya menjawab secukupnya ketika Ayah memberi pertanyaan-pertanyaan penting, berbeda dengan Rifa yang beberapa waktu menemani Ayah minum teh di teras dengan tentu saja rokok terselip antara jari-jarinya yang mulai keriput. Agaknya Rifa masih mencari kasih sayang, anak itu membutuhkan perhatian selayaknya anak-anak lain. Aku sudah melewati sesinya, aku tidak lagi caper terhadap Ayah hanya untuk terlihat hidup. Aku lebih suka menjalani hidup yang mengalir bagaikan arus sungai, aku sudah terbiasa terhantam oleh batu-batu yang menjelma kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desemberhenti
Teen FictionAku dan dia berhenti bersama di bulan Desember. Kupikir cuma berhenti sebentar ternyata kami benar-benar selesai. Akan kuceritakan bagaimana manisnya perjalanan kami sebelum desemberhenti.