Baikkan

11 1 0
                                    

Rintik hujan membuatku semakin angkuh untuk menemui Bara. Bahkan air yang jatuh dari langit tidak mampu menghentikan langkahku menemui laki-laki dengan pendiriannya yang tegas. Apa-apa yang sudah diputuskannya, tidak bisa dirombak dan diganggu gugat. Bahkan ketika aku menolak menerima uang pemberian Ayah, dia justru membuat rencana baru untuk menyerahkan uang itu kepada Ibuku. Tampaknya dia akan melakukan apapun untuk menuntaskan amanah yang sudah diserahkan oleh Ayah. 

"Akhirnya sikeras kepala datang juga."

Yah, itulah sapaan pertama yang dia lontarkan ketika menyambut kedatanganku. Agaknya dia memang sudah menduga dan menunggu aku akan datang, meskipun kenyataannya berjalan agak lambat. Yakni setelah tiga hari aku mendiamkannya. 

"Sejujurnya, kepalamu yang lebih keras, Bar!"

"Tau dari mana? Coba deh, kamu elus kepalaku dulu."

Dasar! Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku tidak melakukannya. Antara malu dan mau bergabung menjadi satu. 

Dia tertawa, membuka apron, lalu berpamitan dengan rekan kerjanya. Kemudian dia mengajakku ke sebuah ruangan yang baru kutau adalah tempat istirahat karyawan, terdapat lima buah kursi dengan satu meja besar disisi kanan. Sebuah lemari bersusun yang terbuat dari bahan plastik berada tepat disamping pintu, sepertinya disana tempat mereka menyimpan barang pribadi. Sisanya, disudut ruangan hanya tersisa selembar karpet yang cukup luas, agaknya digunakan untuk sholat dan juga meluruskan badan barang sejenak guna memanfaatkan sisa-sisa waktu istirahat.

Seperti dugaan, Bara mengambil amplop dari lemari yang sudah kusebutkan sebelumnya. Warna lemari yang terlalu mencolok dan tidak pantas disandingkan dengan Bara, hijau stabilo terang bermotif mawar merah mekar. 

"Padahal kalau kamu tidak datang juga sampai sore ini, aku nanti malam rencana mau datang ke rumah ketemu Ibumu."

"Maka dari itu aku datang, Bar."

"Jadi udah diterima, nih, uangnya?"

"Kata Ibu terima saja."

"Nanti uangnya dikasih sama ibu, kan? Bukan dibuang, kan?"

Aku tertawa. "Aku gak sekaya itu buat buang-buang uang."

"Tapi kamu cukup keras kepala dan penuh dendam untuk bisa melakukannya."

Aku diam. Jika mengikuti keegoisanku, memang benar aku akan melakukannya. Baru sebentar kami berkenalan, tapi Bara sudah tau benar bagaimana perwatakkanku. Bara pandai membaca sifat seseorang, atau mungkin sifatku yang terlalu mudah untuk dibaca. 

"Ayahmu sudah bekerja, Ima."

"Kamu sudah pernah bilang."

"Aku bilang lagi sampai kamu percaya."

"Aku percaya Ayah bekerja, Bar. Dari dulu juga Ayah memang bekerja. Tapi aku kurang percaya kalau ini uang hasil kerjanya. Siapa yang tau, kalau uang ini ternyata hasil dari menang judi?"

"Allah dan Ayahmu yang tau."

"Makanya aku gak percaya sama kamu, karena kamu sendiri juga gatau, kan?"

"Ayahmu bilang begitu, kalau kurang yakin, kamu bisa berdoa kepada Allah."

"Baiklah," ucapku pelan mengakhiri sesi kehalalan. Memang harusnya dari awal serahkan semua urusan di dunia kepada Tuhan, karena pada akhirnya bumi dan seisinya berada dalam genggaman-Nya. Sebagai makhluk ciptaan, meminta, meminta, dan meminta akan menjadi pendirian yang kekal melekat pada diri kita. Bahwa, sebaik-baiknya pertolongan adalah yang asalnya dari Sang pencipta. 

"Kita sudah 3 hari gak ketemu, kamu gak kangen aku, Ima?"

"Gak."

"Gengsi."

"Siapa yang gengsi? Aku memang gak kangen kamu, kok!"

"Aku yang gengsi, karena aku sangat-sangat-sangat kangen sama perempuan keras kepala ini."

Dia mengacak ujung kepalaku, sebenarnya hatiku juga turut teracak sejalan dengan sikapnya yang manis. Dan sejujurnya aku juga gengsi

"Sekarang kita udah baikkan, kan? Akunya jangan di blok lagi, ya."

Aku tidak bisa menahan tawa. Kelihatan sekali siapa yang dewasa dalam hubungan ini. Maafkan sikeras kepala ini, Bar. 





--


See u!

DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang