Angkasa Bara

13 1 0
                                    

Hari ini aku akan berkelana bersama dia, orang asing yang kini menempati posisi penting dihati. Aku tidak tau apa yang akan ditunjukkan Bara. Yang pasti, aku berupaya menahan diri agar sabar menanti. Sudah akan pergi, sudah akan bertemu, tapi siangnya kami masih sempat teleponan. Kata Bara, memanfaatkan sisa-sisa break kerjanya dengan baik. Kami selayaknya pemuda dengan semangat yang menggebu-gebu mengobarkan cinta.  

"Nanti gausa bawak ayam, ya."

"Kenapa?"

"Kita makan bakso aja. Aku yang bayar."

"Malas. Aku aja yang bayar, Ima."

"Jangan gitu, dong." kataku memelas, jiwaku sejak dulu sudah melekat dengan rasa tidak enakkan. Makanya aku berupaya agar turut berkontribusi dalam hubungan kami. 

"Yauda, gini aja, aku bayar bakso dan kamu bayar minumnya. Setuju?"

"Minum dan parkir. Supaya kamu gak berantam lagi."

Bara tertawa, suaranya nyaring lewat telepon. "Oiya, nanti temeni aku beli peniti, ya."

"Hah? Buat apa?" kataku sontak kaget atas kemauannya yang diluar dugaan. Seorang pria kekar dengan pendirian yang tegas akan membeli peniti, barang yang biasanya identik atas kepemilikkan ibu-ibu. 

"Nametag kerjaku rusak."

"Oh, Begitu. Beli sama namanya?"

"Tempat untuk namanya masih bagus, namanya juga masih keren. Angkasa Bara."

Aku terkesiap mendengar nama panjangnya. Selama ini aku menyukai nama panggilnya, ternyata nama lengkapnya yang unik jauh lebih pantas untuk dikagumi. "Bukan Angkara Raya, ya?" 

"Mungkin maunya Ibu begitu, tapi karena typo jadinya Bara."

"Serius? Cuman karena typo?"

"Yah, enggaklah, Ima. Ada-ada saja."

Aku tertawa. Jika memang benar, maka dia adalah manusia unik yang sepantasnya aku bangga sudah menemukannya karena antik. Tidak hanya tingkahnya, begitu juga dengan namanya. "Terus kenapa, dong?"

"Karena Ibu maunya begitu. Kata Ibu, supaya semangat hidup aku seperti angkasa yang luas dan seperti bara yang tidak habis walaupun terbakar lelah."

Aku mengulas senyum. Rupanya pemberian nama memberi pengaruh karena sejalan dengan doa. Buktinya Bara, selayaknya nama yang ia pikul, semangatnya bekobar dalam hidup. "Berarti, kamu hanya butuh peniti untuk nametagnya aja, kan?"

"Iya, Ima."

"Gausa beli deh, aku ada bros jilbab buatan sendiri. Kebetulan penitinya sama kayak yang biasa untuk nametag. Nanti kita tinggal lepas aja, terus dipasang ke nametag kamu pakai lem bakar."

"Sayang, dong, bros jilbabnya jadi gak bisa dipakai lagi."

"Tapi aku lebih sayang sama kamu."

Bara terdiam diujung sana. Sama halnya dengan aku yang menyadari kegilaan ucapan sendiri. Membeku dalam sekian detik. Aku berdehem untuk menetralisir kegugupan yang dibuat sendiri. "Maksudku, bros jilbabnya aku buat waktu praktik sekolah. Udah lama sekali, dan udah gak aku pakai juga. Jadi gapapa kalau dilepas."

"Iya sayang."

Pipiku merona hangat sejadi-jadinya. Setelah itu aku jadi salting seharian. 






--


See u!


DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang