Martabak

18 1 0
                                    

Kami sudah selesai menonton, rupanya film Ngeri-Ngeri Sedap bergenre komedi. Bara benar, kita tidak bisa menyimpulkan isi film hanya lewat judulnya saja, layaknya kita tidak bisa menilai seseorang lewat tampilan luarnya saja. Sepanjang film, aku sadar bahwa Bara sering memandangiku, seolah-olah wajahku lebih menarik daripada layar bioskop yang lebar. Kalau ada scene film yang membuatnya tertawa, maka ia akan menoleh kepadaku, seolah-olah tawanya dihadiahkan hanya untuk bola mataku. 

Selesai menonton Bara memintaku untuk menilai, aku hanya mengucapkan "Bagus". Kami memiliki selera hobi yang berbeda, aku jarang menghabiskan waktu untuk menonton sebuah film. Aku lebih suka menciptakan sebuah hayalan sendiri di kepala melalui tulisan-tulisan novel yang kubaca. Sedang Bara, sebagian besar kegiatan luangnya adalah menonton. Membuat dia lebih pandai memberi nilai untuk sebuah film.  

Bahwa katanya film Ngeri-Ngeri Sedap lebih dari sekedar bagus. Rekaan dalam film selayaknya realita kehidupan masyarakat, menjadi orang tua adalah proses belajar sepanjang masa, bahkan ketika anaknya sudah besar atau mungkin sudah berkeluarga. Oleh karenanya cita-cita, mimpi, pasangan seorang anak dan harapan orang tua harus dipertimbangkan, didiskusikan, dan dicari jalan keluarnya. Makanya keluarga membutuhkan waktu bersama untuk saling mendengarkan satu sama lain.

Aku mengangguk kagum mendengar penjelasan Bara, bahwa kegemarannya menonton film bukan hanya sekedar mendapat hiburan semata. Aku sempat melampirkan pertanyaan, "Kenapa suka nonton?"

"Karena senang. Dengan nonton kita bisa dibuat senyum, sedih, ketawa, bahkan baper. Aku sangat menikmati drama di dunia ini. Seperti membaca, film juga ada pesan moral yang bisa kita jadikan acuan sebagai pelajaran hidup." 

"Pernah gak lihat film berhenti ditengah-tengah? Gak sampai habis?"

"Sering dong, alasannya karena dua hal."

"Kenapa?"

"Satu karena filmnya membosankan jadi ngantuk, satunya lagi karena orang yang aku sayang memberi pesan. Aku lebih pilih untuk balas chatnya. Karena alasan sesungguhnya aku nonton adalah karena kesepian."

Aku tertawa. Aku berharap jadi orang spesial itu. Aku mau menemani kesepiannya. 

*

Sekarang kami dijalan menuju pulang, angin malam tidak membuatku merasa dingin karena ada Bara sebagai tameng kehangatan. Aku tidak kepikiran kalau Bara akan berhenti di warung martabak, memesan sebungkus rasa coklat. "Buat siapa?"

"Orang rumah kamu."

"Gausa, Bar. Ngapain sih?" 

"Biarin, aku mau."

Bara terlalu baik, membuat aku merasa gak enakkan. Dia pandai sekali ngetreat seorang perempuan padahal masih pertemuan pertama. Aku merasa sungguh diratukan, bahkan kepada keluargaku pun dia turut memberi perhatian. Sesungguhnya Bara berhasil membuat jantungku nyaris meledak kesenangan.  

Yang aku tau, martabak memang senjata ampuh untuk merayu tanpa kata supaya dapat persetujuan. Poin yang membuat aku senang adalah Bara melakukannya, artinya dia memang menginginkan aku. Cintaku. Dia menyukaiku. Aku tidak berhenti tersenyum untuk perjalanan cinta ini. Sungguh ini adalah kali pertama, tapi akan kujalani sampai akhir.

Kalau kataku, aku mau dia menjadi yang pertama dan terakhir.

Sampai di rumahku dia tidak singgah lagi, langsung pamit pulang. Lagian sudah jam 9 lebih, jarak rumahku dan rumahnya juga nyaris setengah jam. Aku tidak mau dia pulang kemalaman juga supaya tidak terjadi apa-apa. Lagian masih ada waktu lain untuk kami berduaan kalau mau. Tidak perlu terburu-buru, yang penting pasti.

"Terima kasih ya, Bara."

"Terima kasih juga, Ina. Semoga senang. Besok-besok kalau aku ajak lagi, mau kan?"

"Sudah, aku sudah senang, Bar." batinku.

"Mau, kok. Kalau ada waktu kita bisa pergi lagi." balasku. 

Senyum Bara mengembang, matanya yang sipit nyaris tenggelam dalam lekukan. Bara memintaku untuk masuk rumah duluan, tapi aku menolak. Aku akan menunggunya pergi dan menghilang, memperhatikan punggungnya yang lebar habis ditelan jarak. Aku memintanya untuk memberi kabar kalau sudah sampai rumah, supaya aku tidak khawatir dan bertanya-tanya apakah Bara pulang dengan selamat. 

"Oleh-oleh dari Bara." kataku mesem-mesem malu. Rifa tertawa puas, sedang ibu tersenyum kecil.

"Berarti jelas nih, kan?"

Aku melirik Rifa, pasti dia akan berulah lagi untuk meledek. "Apanya?"

"Pacaran. Udah ditembak?"

"Gausa sok tau!" sinisku.

Dia membuatku malu, memangnya harus sekali mengatakan hal seperti itu di depan ibu. Seolah-olah memang ingin mempermalukan, aku jadi agak khawatir akan dimarahi ibu.

"Ternyata anak ibu sudah dewasa."

Mataku terkesiap. Tidak kusangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir anggun ibu. Bayanganku, ibu akan mengomeliku dan memberi pelajaran bahwa tidak baik berkegiatan terlalu dekat dengan laki-laki. Ibu memang sedikit bicara, karena bukan kata-kata sembarangan yang keluar dari bibirnya. Tidak seperti mulut tetangga yang membicarakan anak perempuan pulang malam dengan seorang pria, seolah-olah berhubungan dengan laki-laki adalah suatu hal negatif yang pantas digosipkan. Padahal menjalin hubungan adalah hasrat yang memang sudah ada pada manusia sejak lahir. Seperti kata Lacan, seorang psikoanalis Prancis terkenal, bawah apa yang menggerakan kehidupan manusia adalah hasrat. Interaksi antara laki-laki dan perempuan adalah perjalanan untuk tujuan nyata bahwa Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.

Dua puluh menit berikutnya aku mendapat pesan dari Bara. "Aku sudah di rumah, Ima. Selamat istirahat, ya."

Bara mendengar kata-kataku. Dia tidak lupa memberi kabar.




--

See u!

DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang