Aku pulang dengan binar wajah ceria, mungkin inilah yang membuat Rifa melirikku dengan garis senyum yang tertarik setengah.
"Biar aku tebak!"
"Apa?" tantangku. Rifa selalu ingin mengikuti urusanku, sekali ini dia harus salah. Kadang-kadang aku merasa agak kesal, karena rasanya tidak ada privasi antara aku dan dia. Namun disisi lain, harusnya patut untuk kusyukuri, kebiasaan kepo Rifa adalah bentuk kasih sayang karena ingin memastikan bahwa kakaknya baik-baik saja. Bahwa Rifa ingin masuk dalam duniaku, dia tidak mau membiarkan aku sendirian. Akupun begitu dengan Rifa, selalu ingin tau apa, bagaimana, kapan, kenapa semua tentang Rifa.
Ketika rumah memberikan tempat pulang yang nyaman, maka aku tidak harus mencarinya ke tempat lain.
"Dosenmu tidak memberi tugas?"
Aku mengangguk kecil, sebenarnya ini juga salah satu dari kebahagiaanku. Namun jawaban ini bukan poin utama. "Tebak lagi."
"Mie ayam depan pintu satu ada diskon?"
Aku menggeleng. Sesungguhnya juga sedang menunggu-nunggu kesempatan emas itu terjadi lagi, dimana ketika hari jum'at maka wak Lubis akan membuat harga mie ayamnya menjadi setengah harga untuk mahasiswa hanya dengan menunjukkan kartu tanda mahasiswa. Namun sudah beberapa minggu berlalu, wak Lubis belum mengadakannya. Mungkin kebutuhan keluarganya sedang meningkat sehingga butuh waktu yang pas untuk jualan sambil sedekah.
"Perpustakaan kampus kedatangan novel baru?"
Aku menggeleng lagi.
"Tugasmu dapat nilai A?"
Salah lagi.
"Penulis favoritmu liris cerita baru?"
Semakin salah. Rifa menghela. Aku menang.
"Terus apa dong?"
"Besok aku pergi sama Bara." ucapku dengan nada kecil, nyaris bergumam. Namun akun yakin Rifa mengerti, karena matanya menatap tepat wajahku dengan serius seolah ingin memanahnya. Pandangannya yang serius tidak lepas barang sedetik Dan benar sekali, Rifa tertawa dengan hebat.
"Serius?!!!" tanyanya dengan nada yang tidak ada bedanya dengan Putri. Tuhan, mengapa aku didekatkan dengan orang-orang yang memiliki pita suara melengking selayaknya terompet rusak?
Aku mengangguk, Rifa menarikku langsung ke dalam kamar. Dia membuka lemari kami berdua. Yah, kami kongsi. Tidak hanya meja belajar yang sepaket dengan meja rias, lemari, pakaian, buku, tas, sepatu, tempat tidur, juga hal lainnya kami saling berbagi. Layaknya anak kembar, kami menggunakan barang yang sama, bergantian satu sama lain. Untungnya badanku dan Rifa nyaris sama jadi tidak kesulitan mencari ukuran, hanya saja Rifa sedikit lebih tinggi.
Bola mata Rifa yang hitam lekat berpindah pada setiap baris baju pelan-pelan, seolah-olah detektif yang ingin memecahkan persoalan masalah dengan baik dan benar. Tidak boleh ada yang terlewat. Rifa membuat pipiku memerah. Sungguh ini akan menjadi perjalanan pertamaku, tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi besok. Aku benar-benar senang dan malu.
"Gaun coksu ini pas banget, sudah agak lama tapi gak jadul-jadul amat lah! Nanti rambutnya disanggul aja, terus poninya agak dikeluarin biar ada kesan manis gitu!"
Aku menggeleng, mengembalikan gaun coksu yang usianya sekitar dua tahun bertengger di lemari gantung. Hadiah dari ibu untuk acara perpisahan SMK, aku tidak memintanya namun ibu memberikan dengan senyum lebar dan hati yang luas, membuatku enggan menolak.
"Kami cuma ketemu untuk saling kenal lebih dekat. Bukan pacaran."
"Yah, proses, kan? Siapa tau pangeran Bara semakin jatuh cinta dengan sihiran yang terpancar dari putri Delima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desemberhenti
Teen FictionAku dan dia berhenti bersama di bulan Desember. Kupikir cuma berhenti sebentar ternyata kami benar-benar selesai. Akan kuceritakan bagaimana manisnya perjalanan kami sebelum desemberhenti.