Cinta 2

16 1 0
                                    

Perjalanan di koridor sepi tidak membuat langkahku ragu keluar dari bangunan menjulang, orang nomor satu setelah dosen yang buru-buru meninggalkan kelas untuk menghirup udara bebas supaya lebih segar. Tiga jam duduk di ruangan mendengar dua dosen silih brganti memberi materi pembelajaran membuat pinggangku sedikit encok dengan perut bergetar minta diisi. Mataku juga terasa jenuh karena melihat pemandangan yang sama lurus ke depan, sesekali menengok ke kiri dan kanan, namun hanya mendapatkan raut-raut wajah kusam teman-teman yang juga sama penatnya. Jika melihat wajah kami, tanpa diucapkan orang-orang juga tau kalau kami ingin segera mengakhirinya. 

Betapapun lelahnya, tangan kami masih lihai menulis kutipan-kutipan ilmu yang dilantunkan Ibu dan Bapak dosen. Bentuk penerapan seorang manusia yang ingin mencapai kehidupan yang lebih cerah. 

Karena sebenarnya mencari ilmu adalah sebuah perjalanan mendaki bukit kemenangan, siapa yang bertahan maka hidup akan memberinya hadiah.  

"Hai Ima!"

Aku terkesiap mendapat sapaan yang tiba-tiba, lalu tersenyum merekah mendapati seorang pria dengan ciri khas yang melekat dalam pandangan. Membuat mataku yang jenuh menjadi terang benderang seperti lampu baru 45 watt. Ketika aku melihat Bara, maka akan merasa candu seolah wajahnya adalah narkoba yang membuat ketagihan. Bedanya aku tidak harus mengeluarkan uang banyak untuk bisa mendapatkannya seperti orang-orang yang candu akan barang haram tersebut. Tidak harus mencuri, mengambil dan merampas hak orang lain, menjual barang-barang rusak yang sekiranya masih laku di tempat rongsokan, bahkan rela membuat susah keluarga sendiri hanya sekedar mendapat ketenangan yang sebenarnya menyimpan racun mematikan. Memandang wajah Bara tidak membuat badanku menjadi kurus, merusak sel otak, saraf, kronis, hipertensi, gangguan jiwa bahkan mati sekarat seperti pecandu narkoba. 

"Kok, kamu bisa disini?" tanyaku kepada Bara setelah jarak kami sudah jalan berdampingan.  

"Antar pesanan. Kebetulan kurir yang biasa tempat kami kerja ada urusan mendadak, istrinya melahirkan anak kedua. Aku lihat alamat pengantarannya di kampus kamu, jadi aku maju nomor satu siap menggantikan."

Aku mengangguk, jawaban yang memuaskan. "Jadi yang ganti pekerjaan kamu, siapa, dong?

"Bagian dapur ada 3 orang. Lagian tadi udah stok ayam bakar, jadi temen-temenku bisa ditinggal sebentar karena gak akan kerepotan." 

"Terus, sekarang kamu mau ngantar kemana?"

"Sisa dua tempat, kamu mau ikut?"

"Boleh?"

"Kalau sudah ditawarin artinya boleh, dong. Tapi," Bara tersenyum menampilkan ketampanannya yang memukau, "Naik motor kamu, boleh? Motor warung dibelakangnya ada box, kan gak mungkin kalau kamu aku letakin di depan."

Kami berdua tertawa membayangkannya. Jika itu benar terjadi, maka kami bukan kelihatan seperti sepasang remaja yang sedang saling menukar kasih, melainkan bagaikan orang tua yang sedang mengajak anaknya keliling komplek di sore hari. Untungnya tubuhku tidak begitu kecil sehingga jikapun mau, kami tidak bisa melakukannya.

Aku menerima tawaran Bara untuk naik motorku saja. Jalan-jalan sama Bara bisa mengisi daya supaya bisa kembali semangat. Seolah-olah hp yang habis baterai dan harus segera disambungkan pengisi daya supaya bisa kembali digunakan. Sebelum benar-benar pergi, aku meminta izin pada Rifa karena takut kalau sekiranya dia tidak mau sendirian di rumah. Namun ternyata dia juga belum pulang, karena singgah ke rumah temannya di dekat sekolah untuk tugas kelompok sejarah membuat peta Indonesia. Rifa memintaku untuk menjemputnya nanti setelah selesai urusan bersama Bara, jadi kami bisa sampai rumah bersama-sama tanpa harus merasa kesepian salah satunya. Ide bagus, aku menerimanya dengan balasan yang tidak sampai satu menit. 

"Ima, kamu percaya gak kalau rasa suka gak selalu tumbuh dari wajah?"

Aku tertawa mendengar pertanyaan Bara, ia tengah memindahkan pesanan dari box ke gantungan di motorku. 

"Apakah terdengar omong kosong bagi wanita si hobi membaca?"

"Tidak, Bar. Aku membaca banyak buku, ada banyak kisah cinta yang dimulai dari hal tidak terduga," jelasku. Walau sebenarnya kebanyakan orang menganggap komposisi wajah menjadi daya tarik utama seseorang jatuh cinta, bahwa yang tampan akan berpasangan dengan si cantik. Namun aku adalah pecinta kisah romantis, aku sudah membaca banyak cerita cinta sehingga dapat menyimpulkan bahwa jatuh cinta hanya dengan berlandaskan rupa tidak dapat bertahan lama, karena kunci utama cinta adalah kenyamanan dan kecocokan.   

"Misalnya?"

"Jatuh cinta karena sang lelaki suka membantu orang lain dalam camp olimpiade, dalam novel Mariposa."

"Mau contoh lain?"

"Apa?"

"Jatuh cinta karena lihat kamu kaget waktu dapat kejutan, tangan yang masih bersambal, juga gigi yang waktu itu ada sedikit daun ubi."

Aku memejamkan mata malu. Astaga, kenapa bodoh sekali aku sampai-sampai tidak memperhatikan penampilan waktu itu. Sungguh, dalam hati aku merutuki diri sendiri. Untungnya Bara jatuh cinta, bukan ilfeel. Semesta sangat baik untuk keberantakanku kali ini. 

"Kalau kamu kapan jatuh cintanya sama aku?"

"Belum dapat jawaban."

"Aku masih bisa menunggu."

Sebenarnya Bara tidak perlu jawabannya, karena cinta hanya butuh bukti bukan hanya sekedar kata-kata. Cinta selalu tau kemana ia harus pulang, cinta tidak mungkin buta arah dimana tempat nyaman yang mengisi kelegaan hati, menyimpan ketenangan jiwa, juga kesenangan akan terpenuhinya kekurangan yang saling melengkapi. 

Jika Bara adalah benar cintanya aku, maka ia tidak perlu ragu pada setiap langkah yang akan kulakukan. Karena cinta akan membuat dirinya selalu berada di hati dan pikiran, dimana dan kapanpun berada. 

Kenyataanya, aku sudah jatuh cinta, Bar. Dan tidak perlu alasan untuk itu. Cukup yakinkan aku dengan cinta sederhana yang katamu itu ada. 

Wanita yang biasa hanya mendapat bagian cinta bertepuk sebelah tangan, kini mencintai dan dicintai. Kisah kami sudah dimulai. Aku dan Bara adalah tokoh utama. 





See u!

DesemberhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang