Besoknya aku jadi ngantuk di kampus. Sedikit-sedikit menguap seolah kekurangan pasokan udara. Aku mengutarakan seluruh kekuatan untuk menahan mata, alangkah buruknya nasibku harus ada kelas pagi setelah semalaman tidak dapat tidur. Baru terlelap sekitar 2 jam, alarm sudah bunyi membangunkan. Teman-teman kuliahku mengira kalau sebab kantukku karena pekerjaan dekorasi, karena begitulah alasanku selama ini, jadi untungnya aku tidak harus menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Bahwa aku tidak bisa tidur karena habis ditembak laki-laki. Kalau mereka tau, nanti ujung-ujungnya aku akan ditertawai habis-habisan plus mendapat semburan ledekan dan godaan yang merajarela.
Selepas kelas pertama, aku tidak langsung pulang karena ada kelas lagi satu jam mendatang. Tentu kecerdikanku bekerja cepat untuk memanfaatkannya supaya bisa tidur, bukan membaca novel sebagai bagian dari kebiasaan semenjak semester satu. Bersama 5 temanku yang lain, kami menempati salah satu pondok yang disediakan kampus. Tempatnya adem dan asri, karena sederet pondok berada diantara barisan pohon-pohon tinggi menjulang. Pondoknya sederhana namun nyaman, terbuat dari kayu beratapkan tepas, ditengah-tengah terdapat meja yang terbentuk dari semen, kemudian didua sudutnya terdapat colokan bercabang yang dapat dimanfaatkan untuk mengisi daya. Sedang teman-temanku bercerita, main ponsel, dan mengerjakan tugas, aku terlelap tanpa merasa terganggu oleh paduan-paduan suara sekitar. Rasa ngantuk telah merampas kesadaranku.
Dering ponsel yang berulang mengganggu bagian istirahatku, teman-temanku terpaksa membangungkan karena khawatir ada pesan darurat. Padahal aku baru tertidur selama setengah jam kurang 4 menit. Aku melirik nama pemanggil yang kata teman-temanku sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Ternyata Putri. Ah, sicerewet ini ternyata.
"Halo, Del! Lo kemana aja, sih? Lama bener angkat teleponnya? Udah kayak artis aja! Sesibuk apa, sih lo, Delima?"
Aku menghela, agak menjauhkan sedikit ponsel dari telinga karena sederet pertanyaan yang terdengar melengking. "Tidur," kataku singkat, namun semoga terdengar padat untuk menjawab pertanyaan Putri.
"Tidur terus sampai lupa kasih kabar kalau udah ditembak, huh!"
Mataku membelalak, rasa kantuk tersapu bersih. Aku sedikit menjauh dari teman-teman kuliah, karena agaknya belum saatnya mereka tau. "Siapa yang cerita?"
"Bara, lah. Siapa lagi? Gak mungkin Delima si tukang tidur, kan?"
"Hehehe, maaf. Aku lupa."
"Parah, Del! Bisa-bisanya seorang Putri dilupakan!" gerutunya diseberang telepon, "Terus-terus, kamu mau jawab apa dan kapan? Boleh, dong, dispill sama sahabat sendiri! Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena lupa sama aku!"
Aku terdiam, jawaban yang bagaimana yang diharapkan Putri? Tentang penerimaan, penolakan, atau malah kegelisahan atas semua pertanyaan yang menghantui kepalaku?
"Del, kok diam aja sih? Udah gamau lagi cerita sama aku, ya? Udah ada teman baru? Iya? Bilang aja, gapapa, kali!"
Ah, Putri suka sekali menembakku dengan banyak pertanyaan yang membuatku tersudut.
"Bukan begitu, Put."
"Terus gimana? Ceritain, dong. Meski jauh, aku masih mau mendengar semua ceritamu, loh!"
Kujelaskan satu persatu, pelan-pelan, lalu berakhir dengan kalimat, "Kalau aku sama dia tapi perasaannya masih di masa lalu, rasanya seperti menjalin hubungan yang palsu."
Giliran Putri yang diam, hampir seperempat menit. "Gimana, ya, Del. Kalau masalahnya tentang masa lalu, kayaknya aku gak bisa bantu, deh. Tapi, kalau memang perasaannya masih untuk simantan, gak mungkin dia mulai hubungan sama kamu, kan?"
"Hubungan sama perasaan adalah hal yang berbeda, Putri."
Ia menghela. "Kalau menurut kamu, selama ini perlakuan Bara ke kamu, bagaimana? Kelihatan tulus, gak?"
"Buat aku yang cinta sama dia, hal sederhana saja yang dia lakuin terasa spesial buat aku."
"Mungkin kamu butuh waktu lebih buat mendapat jawaban?"
Aku mengangguk kecil, "Iya, mungkin."
Semoga pertemuan kami ini berada diwaktu yang tepat. Aku harap-harap cemas membayangkan apakah perasaan Bara tulus nyatanya atau hanya sekedar penasaran dan coba-coba. Maafkan keraguanku, Bar.
--
See u!
KAMU SEDANG MEMBACA
Desemberhenti
Fiksi RemajaAku dan dia berhenti bersama di bulan Desember. Kupikir cuma berhenti sebentar ternyata kami benar-benar selesai. Akan kuceritakan bagaimana manisnya perjalanan kami sebelum desemberhenti.