[TSDP #5]
Ini hanya tentang daftar keuntungan di atas selembar kertas bertandatangan. Akan ada akhir. Tidak akan menjadi apa-apa. Semua selesai setelahnya.
Yakin sekali.
Mereka pikir, takdir tidak akan ikut campur pada sebuah kesepakatan.
11/02/2...
Makasiii udah sabar nungguiiin. 🙆🏻♀️ Kasi api yaaa.🔥🔥🔥🔥
***
Di suatu waktu yang hampir bersamaan. Malam saat para pekerja yang sibuk itu sudah tiba di rumah. Sebagian dari mereka yang beruntung disambut baik oleh 'rumah'—ada orang-orang yang mereka cintai di dalamnya. Sehingga tidak peduli di luar sedang hujan, saat masuk mereka akan dipeluk rasa hangat, karena tahu, seseorang atau beberapa orang sedang menantinya pulang.
Seperti beberapa pasangan, yang masing-masing menceritakan kejadian malam itu.
Kita lihat dari sisi Arjune dan Davi. Biasanya, saat malam, di atas tempat tidur akan ada percakapan hangat. Dan sekarang mereka sedang melakukannya. Arjune baru saja memejamkan mata saat Davi tidur merangsek sembari memeluk dadanya. Jemarinya dia mainkan di atas dada pria itu.
"Kamu harus bikin bachelor party buat Sungkara nggak, sih?" tanya Davi, dan Arjune menggerakkan lehernya untuk menoleh, Davi mendongak. "Iya, kan?"
"Nggak usah."
"Kenapa?" Wajah Davi menjauh, kali ini kepalanya sudah dia taruh di atas bantal, tidak lagi bersandar di dada pria itu. Dia goyangkan pundak Arjune saat pria itu dengan sengaja memejamkan mata dan tidak menanggapi pertanyaannya.
"Aku sampai sekarang masih berharap kalau pernikahannya gagal," gumam Arjune.
Davi mengerjap, terkejut sekali. "Astaga, Arjune .... Kamu kenapa, sih?"
"Harusnya pertanyaan itu bukan buat aku deh. Buat Sungkara. Sungkara yang kenapa?"
"Kenapa? Ya, dia jatuh cinta sama kakak kamu lah. Makanya berencana menikah. Kok malah tanya kenapa?" Davi merasa tidak habis pikir. "Aku pikir, dari kemarin kamu diam aja tuh ... udah bisa nerima."
"Aku diam aja, karena aku lagi cari cara supaya Rui sadar dan batalin pernikahannya, terus—" Ucapan Arjune terhenti karena kini Davi beranjak dari tempat tidur dan melangkah menjauh seraya membawa bantal miliknya. "Lho, kamu mau ke mana?"
"Tidur di luar. Biar kamu lebih fokus menyusun rencana untuk batalin pernikahan Sungkaranya."
***
Kaezar terbangun karena mendengar Jena beranjak dari tempat tidur. Dia melihat wanita itu tengah bolak-balik mengambil popok Yesa. "Mau aku bantuin?" tanyanya, dia melihat Jena tengah membuka bedrail hendak masuk ke tempat tidur Yesa.
"Kamu tidur aja. Nggak apa-apa, kok."
Namun, Kaezar tetap beranjak dari tempat tidurnya, melangkah lunglai untuk menghampiri istrinya. Dia peluk dari belakang tubuh yang—entah kenapa selalu—terasa hangat itu. Dia sandarkan pipinya di pundak itu, matanya masih terpejam, tapi dia ikut melangkah saat Jena bergerak.
