34 : : Bilur-Bilur Nyeri

106 10 3
                                    

Awas nangis :)

"Bapakmu kolaps

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bapakmu kolaps."

Sakra terkejut bak disengat kalajengking. Kakinya mundur satu langkah ke belakang. Tidak. Tidak. Kabar macam apa ini?

"Jantung Bapak kambuh. Dia dilarikan ke rumah sakit. Rumah Sakit Pertiwi yang di Jalan Nangka. Kamu sebaiknya ke sana. Bapak lagi gawat."

Sakra lari kesetanan ke mobilnya tanpa menghiraukan apa pun. Wajahnya pucat karena kaget. Otak Sakra tak mampu berpikir jernih.

Tidak mungkin.

***

Luna mengejar Sakra yang berlari masuk ke dalam rumah sakit. Di luar suatu ruangan, ia mendapati kedua adiknya sedang menangis.

"Hansa! Rinda!" panggil Sakra cepat. "Bapak kenapa?"

Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Hansa mendorong Sakra dengan kekuatan tangan yang sangat keras.

Buuggh!

"Ngapain Abang di sini?!" teriak Hansa.

"Abang!" Rinda berusaha melerai.

"Abang bangsat!" Hansa mendorong Sakra lebih keras lagi. "Puas Abang, hah?! Dokter bilang Bapak dalam keadaan gawat. PUAS?!"

Ada rasa sakit yang seolah masuk hingga ke sumsum tulang belakang Sakra. Kaki Sakra bergetar seperti tak mampu menahan bobot tubuh. Aliran napasnya semakin menyempit.

Luna menyentuh pundak Sakra sambil menutup mulutnya dengan tangan yang lain. Terlihat emosi di wajah Hansa yang sangat mengerikan.

Hansa mengepalkan tangan dan memukul dada kakaknya. "Pergi!"

"Abang..." Rinda melirih.

"Pergi!!" Hansa membentak. "Setelah sekian lama Abang nggak pernah peduli sama Bapak, ngapain Abang ke sini?!!"

Sensai tertusuk dapat Sakra rasakan. Ucapan Hansa itu jelas melukai perasaannya, juga mengingatkan Sakra betapa ia telah lepas jauh dari Bapak. Dada Sakra bergemuruh menahan sesak. Di ruangan yang besar ini seolah ia tidak bisa bernapas sama sekali. Air matanya runtuh tak tertolong.

"Hansa..." Sakra mencoba menyentuh lengan adiknya tapi langsung diberontak secara kasar.

Pukulan kuat sampai di dadanya lagi sebab Hansa yang memukulnya. Sakra mundur karena serangan itu. Goyah. Tak terkira betapa sakitnya yang ia rasakan. Bukan dari pukulan Hansa, melainkan dari sikap Hansa kepadanya dan juga kenyataan yang jelas menamparnya.

"Abang bukan bagian dari kami! Jangan sok peduli!" tegas Hansa.

"Kita keluarga..." Sakra melirih.

"Keluarga apanya?! Abang milih pergi!! Abang berkhianat sama keluarga kita!" Hansa memukul dada Sakra lagi dengan kepalan tangan. "Apa yang Abang tahu?"

Sayang Tak Terbasuh HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang