Sakra bersepeda ke tempat kerjanya. Ia memarkirkan sepeda tersebut depan toko buku. Sekilas ia melihat Radja masuk ke restoran di seberang toko buku Moreo. Dengan buku di tangan tentunya.
Sakra menghela napas panjang. Dipikir-pikir, jika Radja tidak menolongnya kemarin, mungkin Sakra sudah habis dengan luka di mana-mana. Dia bukan Hansa yang jago bela diri. Ya ... manusia lahir dengan kekurangan, bukan?
Ngomong-ngomong ... kenapa Radja selalu ada di wilayah ini? Apa rumahnya di dekat sini?
Sakra masuk ke dalam toko buku. Di sana ada Moreo dan Luna yang sedang menonton video dari laptop.
"Eh, Sa!" Moreo menghampiri Sakra langsung. "Bapak gimana?"
"Bapak?" tanya Sakra. "Bapakku?"
"Nggak. Bapakku," jawab Moreo. "Ish, iya lah! Bapakmu, Bodo!"
"Kami baru aja nonton berita kebakaran di pabrik. Katanya besar banget apinya dan banyak yang luka. Moreo bilang, Bapakmu kerja di sana," jelas Luna yang berdiri di sebelah Moreo.
"Oohh... Bapak nggak apa-apa. Syukurnya tadi Bapak ada di luar gedung, jadi nggak luka. Hansa juga ikut tadi," kata Sakra sambil berjalan ke meja kasir.
"Hansa gimana?" tanya Moreo cemas.
"Nggak... Nggak apa-apa. Aman-aman," jawab Sakra.
Moreo mendekatinya. "Trus Bapak kerjanya gimana sekarang?" tanya Moreo pelan.
Sakra menghela napas panjang. "Terpaksa harus cari lagi."
"Kamu udah ngaku sama Bapak kalau kamu kerja?" tanya Moreo.
"Nggak lah. Gila aku kalau ngaku," jawab Sakra.
"Ooh kamu kerja diem-diem?" Kini Luna bertanya.
Sakra mengangguk.
"Bapakmu marah kalau tahu kamu kerja?" Luna bertanya lagi. Dia sepertinya sangat penasaran.
"Iya. Bapak pasti marah. Mungkin akan sangat marah," jawab Sakra. "Tapi kalau aku nggak kerja, kasihan Bapak harus cari uang sendiri. Aku merasa punya tanggung jawab atas keluargaku, secara aku paling tua. Adik-adikku juga harus sekolah nanti. Kalau aku diam aja, gimana dengan mereka? Lebih baik aku yang nggak lanjut sekolah daripada mereka yang harus putus sekolah. Adik-adikku harus dapat hidup yang layak. Aku rela ngebuang mimpiku demi mereka."
Luna tercengang dengan jawabannya. Dia dan Sakra seumuran, tapi bagaimana bisa Sakra berpikir sebijak dan sedewasa itu? Mungkin benar kata orang, keadaanlah yang bisa membentuk karakter seseorang. Sakra bukanlah orang yang mampu seperti Luna, maka dari itu ia bekerja lebih keras agar keluarganya dapat hidup lebih baik.
Luna tersenyum tulus. "Kamu pasti bisa lanjut sekolah," katanya. "Sekarang ada banyak program beasiswa. Kamu pengen jadi apa?"
"Pengen jadi dokter dia." Malah Moreo yang menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayang Tak Terbasuh Hujan
Fiksi Remaja"Bapak..." Sebait nyeri terlaung lewat perihnya alunan tangis. Sakra menggenggam tangan sang ayah erat, menitikkan air mata tak henti. Bapak mengukir senyum. "Bapak akan selalu bangga menjadi ayahmu." Isakan Sakra terdengar semakin keras. Dia seseng...