1. Perjodohan Misterius

2.7K 105 3
                                    

Tidak biasanya rumah sepi seperti ini saat aku pulang, padahal ini hari Minggu. Biasanya, Mama yang menyambutku atau Kanaya, sedangkan Kak Isna hampir tidak pernah menyambut karena sibuk bekerja kecuali saat hari libur dia atau dapat sif malam. Ini justru sepi tanpa ketiga wanita tersebut. Aku memang hampir tak kasih kabar jika akan pulang, sama seperti kepulanganku sebelumnya. Entah ke mana tiga orang itu.

Sibuk bekerja membuatku jarang pulang ke rumah. Selain jaraknya yang cukup jauh, pergantian sif kerja membuatku harus tinggal mandiri di indekos. Hanya satu atau dua kali dalam sebulan aku pulang ke rumah untuk mengurangi rasa rindu pada Mama. Tinggal beliau satu-satunya orangtua-ku, karena Papa sudah tidak ada di dunia ini dua tahun lalu. Papa divonis komplikasi karena menderita diabetes. Saat itu aku dan Kak Isna masih kuliah, sedangkan Kanaya masih duduk di bangku SMP. Kepergian Papa awal mula kehidupanku berubah.

Parsel buah di atas meja makan menjadi pusat perhatianku. Seperti ada tamu istimewa yang datang ke rumah ini membawa parsel. Mama tidak mungkin membeli dalam bentuk seperti ini. Aku duduk di salah satu kursi, meletakkan gelas bekas minum di atas meja, masih menatap parsel itu dengan hati bertanya-tanya gerangan tamu yang datang.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Sepertinya penghuni rumah ini sudah mulai pulang. Aku beranjak dari kursi untuk memastikan siapa yang sudah pulang. Ternyata Kanaya yang pulang terlebih dahulu. Dia sedang melepas sepatu.

"Kamu dari mana?" tanyaku memecah keheningan.

Dia terlihat kaget, menghentikan langkah, lalu menatapku. "Kakak bikin kaget saja," cetusnya. Melanjutkan langkah untuk masuk. "Aku habis kerja kelompok di rumah temen," lanjutnya.

"Mama ke mana?" tanyaku lagi.

"Tadi pas aku pergi Mama masih di rumah. Emang Kakak pulang kapan?" tanya dia balik sambil berjalan masuk.

"Kakak pulang sudah nggak ada siapa-siapa. Kak Isna juga nggak ada. Emang pada ke mana, sih? Tumben hari libur nggak pada di rumah."

"Mungkin Mama ke rumah Om Arif kali. Kalo Kak Isna kayaknya main ke rumah temen," tebak Kanaya sambil melewatiku, berjalan menuju kamarnya.

Langkah terayun untuk kembali ke ruang makan karena ponselku masih ada di sana. Seketika langkahku terhenti saat mengingat parsel di atas meja makan, lalu membalikkan tubuh. "Nay, itu buah dari siapa?" tanyaku sebelum Kanaya memasuki kamar.

Kanaya menoleh ke arahku. "Naya juga nggak tau, Kak. Kayaknya kemarin ada orang datang bawain itu, tapi Mama nggak bolehin aku makan buah itu," balasnya.

"Kenapa?"

"Nggak tau. Parsel itu juga kayaknya yang bikin Mama sama Kak Isna diem-dieman."

"Diem-dieman?"

Hanya anggukan yang dia berikan.

"Alasannya?"

"Tanya Mama saja langsung, aku nggak tau. Udah, ah, aku mau mandi." Kanaya masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu.

Diem-dieman? Emang ada masalah apa? Apa hubungannya sama parsel buat itu?

Aku akan bertanya pada Mama saat beliau pulang. Tidak mungkin Mama mendiamkan Kak Isna, secara dia anak kesayangan Mama. Jika Mama sampai mendiamkan Kak Isna, berarti ini masalah serius. Aku jadi penasaran masalah apa yang sedang terjadi.

***

Sampai saat ini aku masih belum bertanya pada Mama mengenai masalah yang terjadi. Aku masih tidur saat Mama pulang, jadi pertanyaan itu masih tersimpan, mungkin tak lama lagi akan aku lontarkan saat makan malam. Kak Isna pun baru pulang saat Magrib.

Mama terlihat sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam dibantu Kanaya. Hal seperti ini yang selalu aku rindukan saat jauh dari mereka. Hanya aku yang tak bisa setiap hari melihat Mama. Pekerjaan dan keadaan memaksaku untuk jauh dari mereka. Meski rasa kesal itu masih ada, tapi bagaimanapun aku tetap bagian dari rumah ini.

"Kamu kenapa bengong di situ?"

Pertanyaan itu membuat pikiranku buyar. Aku segera melempar tatapan ke sumber suara. Mama terlihat berdiri di dekat meja makan. Senyum paksa aku ukir. "Nggak apa-apa, Ma." Aku mengayun langkah untuk mendekati meja makan.

"Panggil kakakmu. Makan malam sudah siap." Mama menginstruksi.

Biasanya, aku yang terlambat ke ruang makan, tapi kali ini berbeda. Hampir tidak pernah Kak Isna terlambat ke ruang makan untuk santap bersama. Apa masalah yang terjadi sebesar itu, sampai membuat mereka saling diam? Teringat akan kejadian saat aku harus putus kuliah dan mendiamkan semua orang di rumah ini.

Pintu segera diketuk saat aku tiba di tempat tujuan. "Kak! Makan malam sudah siap!" seruku di sela mengetuk.

Setelah mendapat jawaban, aku kembali ke ruang makan. Mama dan Kanaya sudah duduk di kursi masing-masing. Aku menatap makanan yang sudah tersaji, lalu terpaku pada parsel yang masih tak tersentuh.

"Parsel dari siapa, Ma?" tanyaku basa-basi sambil duduk.

"Dari anaknya teman Papa." Mama terdengar santai.

"Kok belum dibuka?"

"Buka saja, Nis." Suara lain terdengar menyambar. Kak Isna.

"Makan dulu, Nay. Kamu pasti sudah lapar." Mama menginstruksi Kanaya.

Kami fokus makan malam. Suasana saat ini sangat berbeda dari hari sebelumnya saat aku pulang. Terasa kaku dan sepi. Masalah apa yang membuat keceriaan keluargaku pudar? Aku tidak menyukai keadaan ini. Seperti berada di kumpulang orang asing. Hanya alat makan yang mendominasi keadaan.

"Mama sama Kak Isna kenapa, sih? Nggak kayak biasanya diem-dieman seperti ini? Kalau ada masalah diselesaikan, jadi nggak bikin aku dan Kanaya bingung." Aku membuka obrolan serius. Sudah tak bisa menunggu dan memendam.

"Nggak ada apa-apa, Nis. Mama hanya lagi sedih aja ingat Papa kalian," sergah Mama.

"Tapi nggak biasanya kayak gini. Terutama Kak Isna."

"Naya duluan. Mau ngerjain PR." Kanaya beranjak dari posisi.

Syukurlah Kanaya tahu jika aku memang sudah tak sabar ingin mencecar Mama dan Kak Isna. Dari dulu aku memang seperti ini, tidak betah jika mengalami atau melihat masalah di rumah ini. Termasuk saat aku harus memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku mengalah demi Kanaya. Rasanya tak adil saat Kak Isna menjadi sarjana, sedangkan aku hanya lulus SMA karena harus putus kuliah di semester tiga untuk meringankan beban Mama.

"Mama mau jodohin Kak Isna sama yang ngasih parsel buah itu." Kak Isna angkat suara.

"Isnaini." Mama menegur.

Aku nggak salah dengar, kan? Kak Isna mau dijodohin sama yang kasih parsel ini? Bukannya Kak Isna masih pacaran sama Kak Bekti? tanyaku dalam hati sambil menatap parsel buah yang masih menghiasi meja makan. Sekarang aku tahu alasan kenapa parsel ini tidak boleh disentuh, ternyata sumbernya dari yang memberi.

"Sampai kapanpun Isna nggak akan mau dijodohin sama dia. Isna nggak peduli kalau dia anak temannya Papa. Anak orang kaya, atau lulusan Kairo sekalipun. Kenapa Mama main terima begitu aja? Kenapa Mama nggak mau sabar nunggu jawaban dari Isna dan nunggu Mas Bekti ke sini?" cecar Kak Isna.

"Mau nunggu Bekti sampai kapan? Kalian pacaran sudah lebih dari dua tahun, tapi sampai sekarang Bekti belum ada niatan buat serius sama kamu. Lagian Mama cuma menyarankan buat taaruf, belum ke arah terima begitu saja. Apa alasan kamu nolak Umar secara langsung tanpa ada penjelasan?" Mama tak mau kalah.

Jujur, sekarang aku justru bingung dengan masalah mereka yang awalnya sangat penasaran. Ternyata lebih rumit dari masalahku saat itu. Ini memang mengenai masa depan dan Kak Isna berhak memilih. Tapi Mama pun berhak mendapat kepastian dari Kak Bekti mengenai keseriusan hubungannya dengan kakakku. Apalagi Papa sudah tidak ada.

♡♡♡

Bersambung ...

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang