9. Datang Tiba-Tiba

346 65 3
                                    

Deretan kue tradisional tertata rapi di etalase, terlihat menggungah selera untuk menyantapnya. Saa ini, aku berada di toko kue langganan Mama untuk membeli pesanan beliau. Deretan nama-nama kue pun tertera pada kertas di tanganku untuk dibeli. Tidak enaknya jadi pengangguran adalah seperti ini, mendapat banyak perintah untuk mengerjakan sesuatu yang biasanya Mama kerjakan sendiri. Entah untuk apa Mama membeli kue sebanyak ini. Apa akan ada tamu? Atau jangan-jangan keluarga dia? Tidak. Aku yakin bukan dia.

Setelah membeli semua pesanan Mama, aku bergegas keluar dari toko. Rasa penasaran itu semakin tak terbendung. Berharap jika apa yang aku pikirkan adalah salah. Aku belum memberi keputusan langsung pada dia, jadi aku yakin jika dia tidak akan datang secara tiba-tiba, apalagi tanpa pemberitahuan. Satu pekan ini aku berpikir keras memikirkan konsekuensi dan keuntungan jika menikah dengannya. Hal lain yang masih membuatku ragu adalah sifat cueknya. Aku pernah mengirim pesan padanya, tapi dia justru memintaku untuk bertanya pada Om Arif. Mengesalkan. Bertanya saja dia tak ingin, lalu bagaimana jika aku ingin bertemu dengannya.

Deringan ponsel membuat langkahku terhenti. Aku segera merogoh ponsel di dalam tas. Nama Om Ari menghiasi layar ponselku. Kalimat salam langsung menyapaku saat aku menempelkan benda pipih ini ke telinga. Aku langsung membalas salamnya.

"Kamu di mana, Nis?" tanya beliau dari seberang sana.

"Lagi disuruh Mama beli kue," balasku sesuai kenyataan.

"Jangan mampir ke tempat lain, langsung pulang saja."

"Emang kenapa?"

"Sudah ditungguin sama Pak Aji dan keluarganya."

Pak Aji? Aku memutar ingatan. Seketika aku menepuk dahi saat ingat nama itu. Beliau adalah orangtua dia. Pikiranku semakin kalang kabut.

"Serius, Om? Anis belum kasih jawaban ke dia masalah lamaran, kenapa dia dan keluarganya datang dadakan kayak gini?"

"Mama kamu yang minta. Lagian kamu kelamaan kasih jawaban. Sudah seminggu lebih nggak ada kepastian dari kamu, jadi jangan salahin mama kamu."

Mama! Kenapa Mama nggak bilang sama Anis kalau keluarga dia mau ke rumah sekarang? Kenapa nggak tunggu jawaban dari Anis dulu? Aku harus gimana?

"Ya udah, Anis pulang sekarang."

Sambungan telepon terputus saat salam mengakhiri obrolan kami. Aku segera naik ke atas motor, lalu melajukannnya untuk pulang. Selama perjalanan pikiranku tak menentu, bercabang ke mana-mana. Mama membuatku kesal karena mengambil keputusan tanpa musyawarah denganku. Jujur, aku masih belum siap untuk dilamarnya.

Akhirnya aku tiba di kompleks rumah setelah bejibaku dengan jalanan. Jalanan terasa seperti dekat, berbeda saat akan ke toko kue yang terasa jauh, padahal aku mengenadari motor dengan santai. Mobil ternama di negara ini terlihat mengisi garasi. Ternyata mereka sudah tiba. Aku mengembuskan npas sebelum memasukkan motor ke dalam. Masih saja tak menentu hati ini setelah berusaha menenangkan.

Berpasang sandal asing berjajar, menyambutku saat tiba di teras rumah. Suara obrolan terdengar dari dalam rumah. Aku menduga jika yang datang lebih dari tiga orang kecuali Om Arif. Aku kembali menarik napas menenangkan hati yang kembali dilanda rasa tak tenang. Setelah itu, aku bergegas menghampiri pintu. Kepalaku langsung menunduk saat memasuki rumah. Obrolan yang tadinya terdengar ramai menjadi sepi.

"Nis, sini dulu." Mama menginstruksiku.

Aku memberanikan diri menatap ke arah mereka. Mama dan Om Arif duduk dalam satu sofa, sedangkan keluarga dia duduk di sofa lain, dan sisanya duduk di sofa tunggal. Sosok yang aku cari duduk di pojok samping wanita paruh baya yang aku yakini ibunya.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang