Barang seserahan terlihat memenuhi kamarku. Baru beberapa hari lalu aku merasa jika kamar ini terlihat luas karena ada beberapa perabot yang digeser, lalu sekarang justru kembali terlihat sesak dengan barang-barang ini. Dia tidak main-main memberikan barang-barang ini sebagai seserahan. Tidak hanya ini, melainkan ada barang lain di luar sana seperti lemari, tempat tidur, dan barang besar lainnya yang tak mungkin muat jika dimasukkan ke dalam kamarku. Sedangkan di dalam kamarku berisi kotak pakaian, make up, alas kaki, dan barang lainnya yang sudah dikemas rapi.
Sekarang, aku justru digelanyuti rasa takut. Takut jika apa yang aku harapkan tidak sesuai kenyataan. Sampai saat ini pun kami sangat jarang berkomunikasi. Terakhir seminggu yang lalu dia memberi kabar jika akan mengirim seserahan keesokan harinya. Walaupun semua orang sudah meyakinkan aku tetap saja nantinya yang akan menjalani kami, sedangkan aku tak tahu karakternya seperti apa.
Rumah ini sudah ramai sejak dua hari lalu. Kerabat dan saudara dekat sudah mulai berdatangan, termasuk adik bungsu papa yang akan menjadi waliku nanti. Aku bahagia karena rumah ini menjadi ramai, tetapi aku pun sedih karena akan melepas masa lajang. Sesuai kesepakatan, ijab kabul akan dilakukan di pondok pesantren milik Pak Aji, sedangkan pesta pernikahan akan dilakukan di hotel yang sudah dipesan saat itu. Aku yang menentukan warna dekorasi dan aksesoris panggung, sedangkan sisanya aku serahkan pada mama dan tante Fia.
"Loh, malah ngelamun. Udah ditungguin ibu-ibu pengajian."
Kalimat itu mengalihkan perhatianku dari barang seserahan. Tante Fia terlihat berdiri di ambang pintu, sedangkan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum simpul. "Nggak kok, Te. Cuma lagi mastiin saja barang seserahannya. Ini udah siap." Aku beranjak dari tepi ranjang.
Seperti adat pada umumnya sebelum menikah di rumah mempelai wanita menjalani proses siraman dan pengajian. Ini keinginan mama, padahal Om Arif sudah mengatakan cukup dengan pengajian saja tanpa perlu ada prosesi siraman, tetapi Mama kukuh untuk melakukan keduanya. Aku tak tahu masalah ini, jadi hanya menurut saja apa yang mereka perintahkan. Prosesi siraman sudah dilakukan satu jam yang lalu, kini tinggal acara pengajian.
Ruang tengah terlihat ramai didominasi ibu-ibu untuk mengikuti proses pengajian. Aku duduk di samping Mama, lalu Tante Fia menyusul di sampingku. Prosesi segera dimulai setelah aku sudah berada di tempat ini. Jujur, pikiranku saat ini tak menentu, bahkan tak fokus dengan pengajian. Semua orang juatru tenggelam dengan acara ini.
***
Setelah acara pengajian, aku didampingi Mama dan om bertolak ke pondok pesantren yang akan menjadi tempat ijab kabul. Sudah menjadi keputusan bersama jika kami akan ke sana pada malam ini karena tidak mungkin pada pagi hari, karena dikhawatirkan tidak akan cukup waktu, sedangkan ijab kabul akan dilakukan pukul tujuh pagi.
Raga terlihat tenang, tetapi pikiran dan hatiku justru bertolak. Entah alasan apa yang membuatku seperti ini, mungkin karena gugup atau sebagainya. Keluarga besarku terlihat bahagia dan antusias dengan pernikahan ini. Apalagi ini acara besar pertama bagi Mama karena akan menikahkan putrinya, tentu beliau sangat bahagia. Aku bisa melihat jelas dari wajah dan ucapan beliau. Rasa bahagia yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
Akhirnya rombongan kami tiba di tempat tujuan. Orang-orang sudah menanti kami di luar mobil. Saat mobil ini terbuka, wajah pertama yang aku lihat adalah Umi. Aku langsung dipeluk beliau. Suara rebana disertai shalawat mengalun untuk menyambut kami. Aku beserta keluarga digiring untuk menuju sebuah rumah sambil diiringi shalawat. Pandangan kuedarkan ke sekitar, mencari sosoknya, tetapi apa yang aku harapkan tak sesuai kenyataan. Dia tak ada di sini. Justru kekecewaan yang aku dapat.
Jajaran wanita berhijab menyambut kami saat tiba di halaman sebuah rumah. Mereka menundukkan kepala saat kami melewatinya. Seketika aku merasa bingung. Tak hanya di luar, di dalam rumah pun kami disambut banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...