24. Happy Family

677 53 0
                                    

Ini kali pertama untuk kami --di hari ulang tahun Mama, ada anggota baru. Apalagi laki-laki. Kami seperti memiliki bodyguard. Tadinya Bang Umar menolak ikut, tetapi karena permintaan Mama, dia jadi setuju. Aku sudah memintanya untuk ikut, tetapi dia menolak dengan alasan ingin istirahat saja di rumah, membiarkan kami menikmati momen bersama keluarga. Lebih tak kalah adalah paksaan dari Kak Isna.

Setelah menyiapkan pakaian Bang Umar, aku bergegas keluar dari kamar untuk memastikan persiapan Mama dan yang lain. Suara mobil memasuki garasi membuat langkahku terhenti. Siapa? Suara Kak Isna terdengar di luar sana. Aku mengurungkan niat ke kamar Mama, mengayun langkah menuju ruang tamu. Mata kukerjapkan, memastikan jika tak salah lihat. Aku memang tidak salah lihat. Bima datang ke rumah ini. Sepertinya ucapanku tadi malam dituruti Kak Isna. Atau bisa jadi dia datang ke sini hanya untuk bertamu. Sebelum mendengar penjelasan dari mereka, aku tidak akan menebak sesuatu yang belum pasti. Aku segera masuk ke dalam kamar untuk memberi kabar pada Bang Umar bahwa calon kakak iparnya berkunjung. Atau bisa jadi dia akan menjadi teman ngobrolnya sekaligus menjadi penjaga kami.

"Abang," panggilku saat memasuki kamar dan mendapati suami tercinta sedang mengenakan pakaian yang sudah aku siapkan.

"Hmm ..."

"Setelah ganti baju Abang keluar, ya. Ada tamu laki-laki."

"Iya."

"Abang nggak penasaran?"

Tatapan Bang Umar beralih padaku. Senyum menyusul menghiasi wajahnya. Apakah pertanyaanku salah?

"Emang Abang udah tahu siapa yang datang?"

"Kayaknya Mas Bima."

"Kok Abang tahu?"

"Tadi pagi dia WA Abang, boleh nggak dia ikut, karena Kak Isna suruh dia izin Abang dulu. Abang izinin dia ikut karena memang ada yang ingin Kak Isna sampaikan ke dia di depan kita semua."

"Kok Abang nggak bilang aku?"

"Belum sempat, Sayang. Kan sekarang udah tahu. Ya udah, Abang temui dia dulu." Bang Umar mengusap kepalaku, lalu berjalan menuju pintu.

Aku segera memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tas, lalu menyusul Bang Umar. Mama dan Kanaya terlihat sudah siap, menunggu aku di ruang tamu.

"Semuanya sudah siap?" tanyaku sambil menutup pintu.

"Tinggal Kak Isna, katanya lagi ambil tas." Kanaya menimpali pertanyaanku.

"Kak! Jangan lama-lama!" seruku.

"Hust! Di depan ada Bima," tegur Mama.

Suara pintu tertutup membuatku mengangkat kepala. Kak Isna terlihat mendekati tangga, lalu menuruni tangga. Aku melihat ada yang berbeda dari penampilannya. Apa karena setiap hari hanya melihatnya mengenakan pakaian biasa atau pakaian dinas?

"Kalau sudah siap, sekarang kita berangkat. Kasihan Bima dan Umar sudah menunggu di depan." Mama beranjak dati sofa, lalu melewati anak-anaknya.

Aku melangkah mundur agar berposisi di belakang tubuh Kak Isna, lalu menginstruksi Kanaya agar di belakang tubuhku. Sesuai urutan. Kami jalan berurutan menuju pintu utama. Obrolan Bang umar dan calon kakak ipar bisa kami dengar saat memasuki ruang tamu. Mereka ada di teras rumah.

"Ayo, kita jalan sekarang," ucap Mama saat keluar dari pintu.

Kedua laki-laki itu berdiri saat aku tiba di teras. Aku baru sadar jika Bang Umar dan calon kakak ipar tingginya hampir sama. Lebih tinggi calon kakak ipar sedikit. Entah kenapa aku yakin jika kakak dan Bima akan segera menyusulku.

"Bagaimana kalau pakai mobilku saja, Tante? Insya Allah muat untuk enam orang." Bima megutarakan.

Mama menoleh ke arah kami. "Gimana, Is?" tanya Mama pada kakak.

"Terserah Mama gimana baiknya," timpal Kak Isna.

"Umar gimana?"

Senyum menghiasi wajah suamiku. "Umar ngikut saja gimana keputusan Mama."

"Ya sudah, kita pakai mobil Nak Bima saja biar bareng."

Keputusan sudah dibuat. Kami sepakat menaiki mobil calon kakak ipar. Mobilnya memang besar dan bisa menampung enam orang. Aku yakin jika mobil ini sangat mahal karena belum lama keluar. Bang Umar dan calok kakak ipar duduk di kursi depan, sedangkan aku dan Mama duduk di tengah, dan Kak Isna bersama Kanaya duduk di kursi belakang. Setelah memastikan jika tidak ada yang tertinggal, calon kakak ipar melajukan mobil menuju tempat tujuan.

***

Aku senang melihat kedekatan Bang Umar dan calon kakak ipar. Umur mereka hanya selisih dua tahun, lebih tua suamiku. Tapi jangan salah jika Bang Umar lebih tampan dari calon kakak ipar. Itu menurutku, entah menurut orang lain.

Setelah berkeliling mencari hadiah untuk Mama dan Kanaya, kami langsung menuju musala untuk menunaikan salat, karena waktu untuk salat Zuhur sudah tiba. Setelah menunaikan salat, kami langsung menyambangi salah satu restoran yang biasa keluargaku singgahi untuk makan bersama. Rindu pada Papa seketika muncul. Aku berusaha untuk menahan air mata agar tidak menggenang. Ini hari bahagia.

Mama langsung mengatur posisi untuk anak, menantu, dan calon menantu. Calon menantu diapit Mama dan Bang Umar. Aku di samping Bang Umar, lalu di sebelah kiriku ada Kanaya. Sebelah kiri Kanaya ada Kak Isna, lalu di sebelah kiri Kak Isna adalah Mama. Pelayan memberikan beberapa buku menu pada kami.

"Abang mau makan apa?" tanyaku pada Bang Umar sambil menunjukkan buku menu.

Tatapan Bang Umar menyusuri buku menu. "Ada rekomendasi nggak?" tanyanya.

"Ayam goreng menteganya enak. Ayam bakarnya juga enak. Atau Abang mau sup?"

Satu per satu di antara kami mulai menyampaikan pesanan. Setelah Kak Isna menyampaikan pesannya, aku menyusulnya, lalu disusul Bang Umar dan yang terakhir adalah calon kakak ipar. Aku dibuat melongo dengan pesanannya. Banyak. Wajar saja. Dia pengusaha muda. Aku tahu dari Mama akan hal itu. Walaupun kami satu kompleks, tapi aku tak tahu apa pekerjaannya. Aku hanya tahu jika ayahnya pengusaha. Mungkin dia menuruni usaha ayahnya.

"Ada yang mau Isna omongin." Kak Isna membuka suara.

Onbrolan serius sepertinya akan dimulai. Aku sudah tak sabar menanti ucapan Kakak selanjutnya. Tatapanku langsung mengarah pada kakak yang terlihat tenang, tapi aku tahu jika dia merasa gugup.

"Aku sudah musyawarah dengan keluargaku mengenai tawaran Mas Bima, dan aku akan memberi jawaban sekarang kalau aku menerima tawaran itu," ungkap kakak.

Alhamdulillah. Sudah tentu kalimat itu terucap oleh semua bibir orang-orang di meja ini. Ah, rasanya aku ikut bahagia.

"Kalau kamu serius, aku nggak mau lama-lama menunda ke arah pernikahan."

Senyum di wajah semua orang seketika memudar. Mama terlihat menepuk lengan kakak dan menggumamkan kalimat yang tak terjangkau oleh indra pendengaranku.

"Nggak apa-apa, Tante. Insya Allah, Bima siap buat menikahi Isna sesuai waktu yang dia inginkan."

Jawaban calon kakak ipar lebih membuat kami terkejut. Entah aku yang hanya merasakannya atau semua orang. Yang jelas aku kaget. Dia benar-benar serius untuk menikahi Kakak. Aku hanya menjadi pendengar setia obrolan mereka. Bukan hanya aku, tetapi Bang Umar dan Kanaya pun sama sepertiku. Kami memang lebih baik diam karena itu masalah mereka. Berbeda jika di rumah. Sesekali obrolan terjeda saat pelayan datang membawa pesanan kami. Saat semua pesanan tiba, obrolan itu terjeda, dan kami menikmati makanan yang tersaji.

Semoga ini hadiah terbaik untuk mama. Aku yakin jika kakak sengaja melakukan hal ini tepat di hari ulang tahun mama, karena dia sudah pernah mengecewakan mama sebelumnya, jadi dia lebih hati-hati dan tak ingin kembali membuat mama kecewa.

***

Bersambung ...

Kayangnya next part terakhir.
Biar nggak diuber-uber gegara slow update. Wkwkwk

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang