Setelah masa liburnya berakhir, aku seperti kembali pada dunia sebelum menikah. Kesepian. Dia hampir tak pernah di rumah. Ada dua hari libur, Jumat dan Minggu. Hari Jumat libur dari pondok dan hari Minggu libur dari kampus. Tapi dua hari libur itu tetap digunakan untuk bekerja, karena dia merangkap dua pekerjaan. Pukul enam pagi sudah berangkat, lalu pulang pada malam hari dan tak tentu jam pulangnya. Terkadang setelah Magrib sudah pulang, terkadang jam delapan baru pulang. Waktunya dihabiskan untuk bekerja, sedangkan tidak ada waktu untukku. Pulang hanya sebatas untuk tidur dan memastikan keadaanku baik-baik saja.
Lamunanku buyar saat mendengar suara pintu terbuka. Pintu lemari segera kututup, lalu meletakkan pakaian yang aku ambil ke atas ranjang. Setelah keperluannya terpenuhi, aku beranjak untuk keluar dari kamar karena harus menyiapkan sarapan untuknya. Sekarang adalah hari Jumat, jadi dia tidak terburu-buru untuk berangkat pagi, karena tugasnya hanya ke kampus. Biasanya, dia akan berangkap pukul sembilan.
"Sayang."
Apalagi, sih? Bukannya sudah disiapkan semuanya? Aku membalikkan tubuh dengan gerakan malas.
"Ada yang mau Abang omongin. Tadinya mau Abang omongin tadi malam, tapi kayaknya kurang pas," ungkapnya.
Aku mengayun langkah, mendekat ke arah ranjang, lalu duduk di tepi. Siap untuk mendengarkan. Dia pun duduk di sampingku.
"Abang mengundurkan diri dari kampus."
Seketika aku melempar pandangan ke arahnya. "Aku nggak salah dengar, kan? Alasannya apa?" tanyaku memastikan.
"Enggak. Emang udah lama Abang mau resign dari sana karena bentrok dengan tugas di pondok, apalagi sekarang Abang sudah punya Sayang, jadi Abang juga harus bagi waktu ke Sayang."
"Jadi sekarang gimana?"
"Hari ini Abang mau ke kampus, mau ambil barang-barang yang masih ada di sana. Ikut Abang, yuk, sekalian pulangnya main ke rumah Umi. Katanya beliau kangen sama menantunya."
"Naik motor?"
"Abang semalam bawa mobil, sengaja besoknya mau ajak Sayang ikut ke kampus, motornya Abang tinggal di pondok. Tadinya mau ngomongin masalah ini semalam, tapi Sayang sudah keburu tidur duluan, jadi Abang tunda sampai sekarang."
"Ya udah, aku siap-siap dulu." Aku beranjak dari ranjang untuk berganti pakaian.
"Abang tunggu di ruang makan, ya."
"Iya. Abang jangan lupa bilang sama Mama."
Aku segera berganti pakaian, menyiapkan barang apa saja yang akan aku bawa. Masih menjadi pertanyaan perihal dia mengundurkan diri jadi dosen, walaupun alasannya sudah diungkapkan. Kenapa dia baru bicara padaku sekarang mengenai hal ini?
Setelah selesai bersiap, aku keluar dari kamar. Keadaan rumah ini seperti biasa, sepi. Sebagian penghuni sudah berangkat untuk melakukan tugas masing-masing, kecuali dia. Suara obrolan Mama dan menantunya terdengar sampai ruang tengah, membuatku penasaran topik apa yang sedang mereka obrolkan.
"Mama nggak keberatan Kalau Anis mau diajak Nak Umar buat tinggal di pondok. Kemarin Anis bilang sama Mama masalah ini. Mama juga ngerti kalau Nak Umar di sini pasti sungkan karena laki-laki sendiri."
Langkahku terhenti saat beberapa langkah memasuki ruang makan, lalu berjalan mundur saat mendengar ungkapan Mama. Ini kesempatan yang aku tunggu, jangan sampai aku mengganggu obrolan serius mereka.
"Insyaa Allah, Ma." Dia hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Masih kurang apa? Barangkali Mama bisa bantu. Itu lemarin, kasur, dan lainnya juga bisa buat ngisi rumah daripada beli lagi. Biar kasur sama lemari yang lama di kamar Anis. Lagian nanti jarang dipakai kalau kalian sudah pindah." Mama menambahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...