Sebelum baca, aku cuma mau minta kalian buat tap bintang dan follow saja, anggap sebagai dukungan biar aku semangat nulis. Terima kasih. ♡
♡
Hanya karena belum lama bekerja di kantor pusat, aku tidak mendapat izin untuk pindah ke kantor cabang. Satu tahun bagi mereka belum lama? Lalu harus berapa tahun baru boleh pindah? Penolakan itu membuatku kesal dan pusing. Rencana yang sudah tersusun rapi jadi berantakan. Rasanya malas untuk kembali bekerja di sana. Hari ini seharusnya aku sudah masuk kerja, tapi karena penolakan itu membuat aku malas masuk dan berasalan. Apa aku harus mengundurkan diri? Tapi bagaimana dengan niatku untuk kembali kuliah? Kacau.
Motor di halaman rumah membuat langkahku terhenti, memastikan jika aku tak salah lihat. Aku melangkah menuju teras setelah yakin jika motor itu benar milik Om Arif. Pasti mengenai laki-laki itu. Aku yakin. Salam tak lupa terucap saat aku masuk ke dalam rumah. Sesuai dugaanku, Om Arif memang ke sini, dia membalas salamku. Di sana sudah ada Ibu dan Kak Isna. Aku segera menghampiri beliau, lalu mencium punggung tangannya.
"Baru pulang, Nis?" sapa beliau dengan pertanyaan.
Aku melepas tangan beliau. "Iya, Om." Memaksa senyum ramah. "Anis langsung masuk, ya," lanjutku.
Masalah ini tidak ada hubungannya denganku, jadi aku tak perlu tahu atau mendengarkan, tapi aku pun penasaran. Semoga masalah ini cepat selesai dan keadaan rumah ini kembali tenang. Semalam, Kak Bekti sudah ke rumah ini dan menyatakan keseriusan hubungannya dengan Kak Isna. Tapi, dia minta waktu untuk melamar Kak Isna, minimal lima bulan. Untuk ke arah pernikahan dia minta waktu satu tahun. Setidaknya kedatangan Kak Bekti melunturkan rencana Mama mengenai perjodohan itu.
Setelah masuk ke dalam kamar, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Aku kembali memikirkan pekerjaan dan kuliah. Satu tahun bertahan di sana meski terpaksa demi bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Bosan rasanya di sana. Sudah beberapa bulan lalu ingin keluar, tapi masih berusaha bertahan. Pengajuan pindah ke cabang pun ditolak. Semakin membuatku ingin keluar. Jika aku keluar sekarang, bagaimana dengan niat untuk kembali kuliah?
Suara ketukan pintu membubarkan semua yang ada di dalam pikiran. Aku melirik ke arah pintu saat benda itu terbuka. Ternyata Kak Isna. "Jangan curhat, deh, aku lagi pusing." Aku memeluk guling, lalu memejamkan mata.
Kak Isna terdengar duduk di kursi belajarku. "Kata Mama, kamu mau kuliah lagi?" tanyanya.
Hanya gumaman yang aku berikan.
"Emang tabungan kamu udah cukup? Udah mastiin ke depannya gimana? Capek loh, Nis, kerja sambil kuliah, apalagi pekerjaan kamu berat."
Nggak Mama nggak dia, bukannya semangatin atau bantu malah bikin aku down. Mending aku diem aja. Percuma juga kalai dibales, bakal panjang.
"Kenapa nggak terima saja tawaran Mama buat taaruf sama Umar gantiin Kakak? Dia dosen, orang tuanya punya, kamu bisa dijamin kuliah kalau nikah sama dia. Kamu juga nggak punya pacar, kan? Daripada pusing kerja sambil kuliah, mending-"
"Jadi kambing hitam lagi?" tanyaku memotong ucapannya.
"Maksud kamu apa?"
Aku beranjak duduk, menatap Kak Isna yang sama-sama menatapku. "Kakak lupa kalau dulu yang bikin aku putus kuliah karena apa? Aku ngalah putus kuliah supaya nggak jadi beban Mama, supaya Kakak wisuda, supaya Naya bisa masuk SMA. Sekarang aku mau ngalah lagi supaya Mama nggak malu di depan keluarganya Umar? Kalau ada yang harus tanggung jawab itu Kakak, bukan aku."
"Kok kamu ngomongnya gitu sih, Nis."
"Terus aku kudu ngomong gimana? Nurut lagi jadi kambing hitam?"
"Kakak cuma kasih saran saja buat kamu, itu juga kalau kamu mau. Kalau kamu nggak mau ya nggak masalah, lagian Kakak sudah minta maaf sama Umar. Kalau Kakak nggak janji sama Mas Bekti dan nggak dikenalin sama keluarganya waktu itu, mungkin Kakak sudah lanjut taaruf sama dia. Kamu nggak tau gimana rasa utang budinya Mama sama keluarga Umar yang sudah ikut bantu Papa waktu dirawat. Tadi Om Arif juga bilang sebelum Papa meninggal, Papa itu berharap kalau salah satu dari kita bisa jadi menantunya Pak Aji. Kakak nggak bisa karena sudah janji sama Mas Bekti, Kanaya juga nggak bisa karena masih kelas dua SMA. Yang bisa saat ini itu kamu. Tapi Kakak sama Mama nggak maksa, kok, itu kalau kamu mau, kalau nggak juga nggak masalah. Yang penting kamu sudah tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...