Persiapan untuk kuliah sudah mulai kupikirkan dari universitas, biaya, dan keperluan lainnya. Insya Allah, Bang Umar akan mendukung dan siap membantu jika dibutuhkan. Aku sangat bersyukur bisa menikah dengannya yang tak pernah menuntut apa pun baik masalah rumah, keuangan, atau penampilan. Namun, aku sadar diri sebagaimana layaknya seorang istri yang harus membuatnya senang dan nyaman.
Setelah dari rumah mama, Bang Umar minta izin padaku untuk menemani Abi ke luar kota karena ada acara penting. Sudah tentu aku tak bisa menolak karena itu menyangkut pondok. Sekarang, aku sudah berada di rumah umi sampai dia kembali dari acara itu. Hanya dua atau tiga hari di sana. Jika umi tak sendirian di rumah ini, mungkin aku akan lebih memilih di rumah mama saja. Aku masih canggung jika di rumah ini.
Seharusnya hari ini aku ada janji dengan teman untuk memastikan universitas tempat dia kuliah, tetapi terpaksa dibatalkan karena permintaan Bang Umar yang menurutku dadakan. Sebagai gantinya, dia yang akan mengantarku setelah kembali dari luar kota untuk ke universitas itu. Lagian aku juga sepertinya butuh istirahat karena sejak pulang dari rumah mama badan terasa tak enak. Mungkin karena kelelahan seharian jalan-jalan.
Mukena segera kulepas, lalu melipatnya, meletakkan kembali di sandaran kursi. Aku tak mungkin berlama-lama di dalam kamar karena di jam seperti ini umi pasti sedang sibuk di dapur membantu bibi memasak. Setelah mengenajan jilbab, aku segera keluar dari kamar. Aku mengerjapkan mata saat merasa pusing. Tubuh rasanya seperti lemas untuk berjalan. Sejenak, aku menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Langkah kuayun untuk menuju tangga, lalu menuruninya dengan langkah perlahan karena tubuhku terasa lemas.
Setibanya di tangga paling bawah, aku menghentikan langkah lalu duduk sejenak. Rasanya pusing dan lemas. Suasana rumah ini terasa sepi. Jujur, aku merasa kasihan pada umi dan abi karena harus jauh dari anak-anak, padahal mereka belum menikah, masih mondok di daerah masing-masing. Demi anak-anaknya sukses di dunia dan akhirat, beliau rela jauh dari anak-anak.
Setelah cukup mengumpulkan tenaga, aku kembali melanjutkan langkah untuk menuju dapur. Rasa mual menyerang tubuhku saat aroma masakan tercium, padahal aku baru saja tiba di ruang makan. Aku akan kembali ke kamar karena rasanya tak tahan ingin muntah, tetapi niatku terurung karena rasa lemas itu kembali hadir. Yang ada dalam pikiranku adalah kamar mandi di samping rumah. Aku segera mengayun langkah menuju sana.
Napas masih terengah, keringat pun membasahi kening. Masih bertanya dalam hati mengenai sakit yang aku alami. Masuk angin? Tapi tak biasanya seperti ini. Aku segera keluar dari kamar mandi setelah puas mengeluarkan semua isi yang ada di perut. Lemas rasanya saat ini.
"Anis kenapa, Nak? Lagi nggak enak badan?"
Pertanyaan itu hampir saja membuat jantungku lepas dari tempatnya. Umi terlihat berdiri di dekat pintu ruang tengah, menatapku dengan tatapan khawatir. Sepertinya beliau mendengar aku mual-mual. Hanya senyum ramah dan gelengan yang kuberikan sambil menghampiri beliau.
"Kayaknya cuma masuk angin," balasku kemudian.
"Pasti kecapean, ya. Lebih baik Anis istirahat saja, ya. Kalau butuh apa-apa tinggal telepon dan minta ke Umi. Jangan sungkan."
"Nggak apa-apa, Umi. Udah biasa kayak gini, nanti juga baikan sendiri."
"Beneran? Jangan maksa, ya? Mau Umi buatkan teh? Atau Anis mau minuman anget yang lain?"
Pusing. Hampir saja aku terjatuh jika Umi tak cepat menopang tanganku. Beliau memapahku untuk masuk, lalu duduk di ruang tengah.
"Umi khawatir loh, Nis. Wajah kamu juga kelihatan pucat. Apa mau Umi antar ke klinik? Umar tahu nggak kalau kamu lagi sakit?" Umi masih saja khawatir.
"Nggak apa-apa, Umi. Umi jangan khawatir, ya."
"Ya udah, Anis istirahat saja, ya. Apa mau Umi bantu ke kamar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...